HATI saya begitu miris tatkala membaca sebuah artikel tentang kondisi sosial masyarakat Jepang.
Artikel itu berjudul “Hasil Survei: 32,64 Persen Warga Jepang Tidak Punya dalam Hidup” dipublikasi media online batam.tribunnews.com tertanggal 15 Juni 2016.
Survei itu dilakukan para peneliti Tokyo MX dengan ribuan responden. Dari sekian ribu responden, sebanyak 32,64 persen responden ternyata tidak memiliki teman. Mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan menyendiri. Mereka lebih memilih main game, berkomukasi di dunia maya, dan menonton televisi.
Dalam artikel itu juga disebutkan bahwa 54,8 persen responden dalam penelitian itu memiliki teman paling banyak lima orang. Sedangkan yang punya teman lebih dari11 orang hanyalah 3,13 persen. Di dalam artikel itu memang tidak disebutkan kategori teman yang dimaksud.
Secara global, saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa seorang teman. Apa yang terjadi jika hidup tanpa teman? Akan terciptalah masyarakat yang anti-sosial dan warga yang individualis. Padahal, manusia itu tercipta sebagai makluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Dari penelitian Tokyo Max tersebut disimpulkan bahwa orang-orang yang hidup dalam kungkungan dunianya sendiri dan bersikap anti-sosial, sangat berisiko melakukan kejahatan pribadi , melukai diri sendiri sampai bunuh diri.
Mereka juga berpotensi melukai orang lain. Bahkan kadang-kadang mereka menyerang orang lain tanpa diketahui sebabnya. Tingkat resiko terkena penyakit juga sangat besar, termasuk kanker. Apalagi mereka jarang berolahraga dan menghirup udara segar di luar ruangan.
Setelah saya membaca artikel itu, saya berfikir, alangkah bahagianya saya hidup di Indonesia yang masyarakatnya masih suka berkumpul dan bercerita, plus gosip sana-sini. Terlepasd ari efek negatif ‘ngegosip’ setidaknya kita masih bersyukur bahwa kita saling peduli satu dengan lainnya.
Karena kultur budaya masyarakat Indonesia itu suka kumpul-kumpul, bahkan ada pepatah orang Jawa “Mangan ora mangan seng penting kumpul atau makan tak makan yang penting kumpul”, tidak heran sekarang ini semakin menjamur warung-warung makan, café-café dan lesehan-lesehan yang notabene memberikan ruang dan tempat bagi warga Indonesia baik muda maupun tua untuk rajin kumpul-kumpul.
Bahkan, KFC sendiri juga sudah mengusung konsep bersantab dan berkumpul. Artinya, KFC tidak lagi hanya sebagai tempat makan ayam tetapi juga tempat kongkow-kongkow anak muda dan keluarga.
Fasilitas yang Lebih Familiesta
Saya masih ingat, dulu, kurang lebih satu dekade yang lalu, di Batam itu KFC identik dengan tempat makan ayam dan nasi, plus kentang dan minuman soda.
Tempat duduknya pun didesain sederhana dan hanya ada meja dan kursi untuk makan, tanpa ada fasilitas lain. Dan rata-rata hanya ada dua kursi di satu meja. Tapi sekarang, desainnya sudah berubah. Satu paket susunan meja rata-rata berisi empat kursi. Ada beberapa juga lebih dari empat.
Ditambah lagi, kini KFC sudah dilengkapi dengan fasilitas play ground. Perubahan fasilitas ini membuktikan bahwa KFC telah mengakomodir kebiasaan orang Indonesia yang hobi makan ramai-ramai satu keluarga.
Tidak hanya itu, KFC membuktikan bahwa mereka tidak lagi hanya untuk orang dewasa melainkan juga anak-anak. Adanya play gournd, memberikan manfaat ganda. Bagi KFC pastinya untuk meningkatkan penjualan karena semakin lama anak-anak bermain, diharapkan orang tuanya akan lebih banyak membeli makanan karena lama menunggu anak-anak mereka bermain.
Di sisi lain, orang tua tetap bisa bersantap sambil bercerita seraya anak-anak mereka main dengan aman. Saya sendiri, jadi lebih sering berkumpul bersama keluarga dan teman-teman dengan membawa anak-anak ke KFC karena fasilitas play ground yang memang disukai anak-anak. Bahkan, play ground itu sendiri telah memberi manfaat bagi anak-anak untuk belajar bersosialisasise dari dini.
Mengajarkan mereka berbagi tempat bermain dan berkenalan dengan anak-anak lain.
Ragam Menu yang Kian Plural
Dari segi menu, saya melihat menu yang dihadirkan KFC lebih memasyarakat saat ini. Bahkan bisa menjangkau semua kalangan yang makin plural termasuk yang berkantong cekak. Sebut saja remaja-remaja yang belum bekerja dan hanya mengandalkan uang jajan dari orang tua.
Kehadiran menu GOCENG, meskipun harganya tidak benar-benar goceng alias Rp 5.000, sangat berperan bagi remaja untuk bisa kongkow dan bersantai di KFC. Dengan modal Rp10 ribu, mereka sudah bisa membeli menu minuman yang terbilang “sesuai zaman” dan disukai banyak kawula muda saat ini yang memang trend nya cenderung kebarat-baratan.
Beberapa minuman dimaksud di antaranya racikan minuman berlabel float dengan rasa mocca, mango, strawberry, leci, dan lainnya. Ada pula ice cream Sundae dan spaghetti yang juga masuk daftar menu GOCENG. Salah satu minuman GOCENG. Menu: twitter.com
Makin terjangkau harga makanan dan minuman untuk semua kalangan termasuk bagi yang belum berpenghasilan, makin besar peran KFC dalam mencegah terbentuknya generasi yang anti-sosial dan individualis. Kini, datang ke KFC tidak harus makan, tapi bisa kongkow-kongkow menyantap makanan dan minuman ringan seraya bercerita, bercanda, dan bersenda gurau bersama keluarga, teman, sahabat bahkan untuk acara arisan. (sri murni)
Tulisan ini lebih dulu saya posting di : http://www.kompasiana.com/menix/kfc-bikin-kongkow-makin-asik-plus-membendung-terbentuknya-generasi-anti-sosial-yang-individualis_57b1d2632423bdfe17f84e2f
Tulisan ini juga saya posting di blog saya lainnya: menixnews.wordpress.com