Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Lirik lagu lawas bertajuk “Yogyakarta” yang dirilis Kla-Projek pada 1990 ini, selalu mengingatkan saya dengan Yogyakarta. Dimanapun saya berada, begitu mendengarkan lagu ini, kenangan akan kota “milik” Sri Sultan Hamengkubuwono tersebut langsung memuncak dalam pikiran.
Tidak ada kenangan romantis di kota ini karena saya ke sana tidak pernah dengan kekasih, melainkan dengan abang kandung saya. Pernah juga beberapa kali solo traveling.
Namun, ada kisah “nakal” yang saya lakukan kali pertama ke kota Jogja (orang sering menyebut Jogya dan Yogya. Maknanya sama saja) bersama abang saya pada tahun 1999 lalu. Ketika itu, saya masih duduk di semester pertama di Universitas Riau (UNRI), Pekanbaru.
Saat pekan ujian akhir semester (UAS) akan berakhir, abang saya yang tinggal di Jakarta mengajak liburan ke Jogja. Saya pun senang sekali. Tanpa pikir panjang saya langsung katakan “iya” padahal masih tersisa satu lagi mata kuliah yang belum ujian. Jadwal keberangkatan tidak bisa ditunda karena terkait izin cuti kerja abang saya.
Saking senangnya diajak ke Jogja, saya terpaksa membohongi seorang dosen agar mengizinkan saya pergi dan ikut ujian susulan setelah pulang dari Jogja. Alasan yang saya utarakan tentu saja bukan karena diajak liburan, melainkan,”Nenek saya meninggal karena gagal ginjal”. Waduh, padahal nenek saya sudah meninggal ketika saya masih bayi, yakni di tahun 1981. (Maafkan saya ya Pak Dosen telah berbohong….)
Setelah mendapat izin sang dosen, saya pun langsung membeli tiket bus dari Pekanbaru ke Jakarta. Kemudian akan berangkat naik kereta api ke Jogja.
Di tahun itu, bepergian jauh, termasuk ke Jawa, transportasi utama adalah bus dan kapal. Bepergian naik pesawat terbang masih menjadi satu hal yang sangat mahal.
Perbandingannya, harga tiket bus ber-AC tidak sampai Rp100 ribu ke Jakarta. Sementara pesawat lebih dari Rp500 ribu. Pesawat yang ada pun masih berbadan kecil dan baling-baling.
Tidak seperti sekarang, moda transportasi udara menjadi pilihan paling utama dan mudah saat bepergian ke luar kota. Apalagi, pemesanan tiketnya pun sangat gampang, hanya dari handphone. Selama ada jaringan internet, kita tinggal mengakses web site maupun aplikasi traveling yang banyak tersedia. Salah satunya adalah pegipegi.com.
Harga tiketnya terjangkau, apalagi kalau pesannya jauh-jauh hari. Untuk tiket pesawat ke Jogja dari Pekanbaru misalnya, beli via web ataupun aplikasi pegipegi, sangatlah mudah.
Kita tinggal masukkan kota asal dan tujuan serta tanggal keberangkatan, maka akan langsung tertera pilihan tiket pesawat promo, tiket pesawat murah, sampai yang termahal, lengkap dengan jadwalnya.
Setelah menetapkan pilihan tiket yang sesuai, kita tinggal klik “pesan tiket pergi”, isi data diri yang benar, dan bayar via internet banking, transfer ATM, kartu kredit, ataupun melalui pembayaran virtual lainnya.
Dari pengalaman pertama kali ke Jogja 18 tahun silam, saya jadi sering ke sana bersama teman-teman. Setiap kali ke Jogja, ada sejumlah kuliner yang selalu ingin saya nikmati karena telah membuat hati saya kepincut.
1. Soto
Kali pertama makan soto di Jogja sempat membuat saya bingung. Selama ini makan soto, antara nasi dan sotonya pasti dipisah. Nasi di piring dan soto di mangkuk. Sampai Jogja, saya memesan soto tetapi semuanya disatukan dalam satu wadah, mangkuk.
Di mangkuk itu, di bagian bawah adalah nasi, kemudian potongan daging, tauge atau kecambah, lalu disiram kuah dan ditaburi irisan daun bawang-seledri, ditambah bawang goreng, sambal, dan perasan jeruk nipis.
Saat disajikan, awalnya saya tidak tahu kalau sotonya sudah bercampur nasi. Saya pun meminta nasi kepada “Bude” yang jualan. Kemudian si Bude memberitahu kalau di dalam mangkuk sudah ada nasinya. “Soto yang aneh,” pikir saya ketika itu.
Dan setelah dicicipi ternyata maknyusss, enak sekali. Soto dengan tampilan begini ternyata juga sangat umum di daerah Jawa. Tidak hanya di Jogja, tetapi juga Surabaya, Malang, dan kota lainnya.
2. Nasi Kucing
Dari namanya, saya sempat “jijik” saat diajak abang saya makan nasi kucing di warung-warung yang ada di sepanjang jalan Malioboro. “Lah, nasi kucing kok dibeli. Apa isinya?” tanya saya kepadanya.
Dia tidak memberi jawaban, melainkan langsung menggiring saya ke warung kecil yang disebut angkringan. Dia pun langsung mengambil bungkusan kecil daun pisang dan membukanya. “Ini loh dek yang namanya nasi kucing. Ayo cobain dan tambah lauknya,”katanya seraya menunjukkan deretan lauk yang tersaji di meja di depan saya duduk.
Oooo nasi kucing ternyata nasi porsi sedikit yang dibungkus daun pisang yang di dalamnya sudah ada lauk yang juga serba sedikit, tahu, tempe, telur dan sambal. Setelah mencoba satu, eh saya nambah dua bungkus lagi, plus beberapa lauk seperti sate telur puyu, sate ayam, tempe mendoan, tahu goreng, dan ayam goreng.
3. Gudeg
Pagi-pagi, kami sempatkan untuk jalan-jalan ke Pasar Beringharjo yang terletak di Jalan Malioboro. Yang namanya pagi, perut pasti lapar. Di depan pasar, banyak sekali ibu-ibu dan nenek-nenek bakulan sarapan.
Saya tertarik untuk mencoba gudeg, karena kata inilah yang selalu ditawari para penjual. “Gudeg mbak…gudeg…gudeg,” begitu seruan mereka.
Saya pun minta satu porsi. Makannya tidak menggunakan piring, melainkan pincuk yakni daun pisang yang dibentuk kerucut. Isinya, nasi putih, telur bulat, krecek (kerupuk kulit yang disambal), dan gudeg (sayur nangka) serta ditambahi sambal dan tahu.
.Saya pun menyantapnya dengan lahap. Gudeg, tahu, dan telurnya rasanya manis. Untung ada krecek dan sambal yang pedas sehingga masih mengobati lidah Sumatera saya yang biasa menyantap masakan pedas.
Sejak kali pertama mencoba kulineran Jogja, saya jadi kepincut dan selalu kangen dengan masakan yang manis-manis tersebut. Untungnya di Batam, dimana saya tinggal saat ini, sudah banyak angkringan seperti Jogja. Jadi kalau kangen dengan kuliner Jogja, bisa terobati dengan cepat. (sri murni)
gudeg mercon dong, Menik. Masuk sama kita penyuka pedas-pedas. Tapi malam aja.
Muahahaha, baca kuliner Jogja dari mba Menix ini bikin kangen Jogja. Ga cuma makanan aja, warga dan tempat wisatanya juga ngangenin.
hehehe. ternyata banyak juga kuliner jawa yang asing di telinga ya.. kopi arang tak coba kak?
sotonya kaya soto kwali di pinang. nasinya dicampur
Malah saya heran saat makan soto di Batam, kuah dan nasinya dipisah. Padahal dikampung terbiasa dicampur.
Terbalik kita ya mba? Hihihi
Nasi kucing, tak puas kalau hanya sekali. Harus sering nambah. Nambah lauk nambah nasi dan seterusnya haha….
kalau aku rindu nasi goreng magelangan pak pele yang di alun-alun mbak..
Makanan yang menggugah selera asli ya jogja ini bukan hanya kota pelajar wisata dan makananya pun enak
Kangen gudeg gegara baca postingan ini, jadi pengen makan deh laper cari dimana ya gudeg di Kota Tanjungpinang, sepertinya harus balik lagi deh ke Jogjakarta
Beberapa waktu lalu dapat kiriman oleh-oleh dari teman suami yang abis dari Jogja. Oleh-olehnya gudek. Udah underestimate sih paling biasa aja, eh ternyata pas udah nyobain enaknya kebangetan.
Nasi kucing terbaik. Dimakan lima bungkus pun kurang.. hehe
Owalah bohong hanya demi ke Jogja… lanjutkan kak.. lol
Iya nih….. pengin ketemu si dosen dan melakukan pengakuan dosa… hwhwhw
Belum pernah ke Jogja Mbak, tapi pasti saya bakalan suka amo sotonya deh, saya paling suka makanan berkuah soalnya.