SATU pekan ini, media sosial (Medsos) khususnya facebook, diramaikan dengan diskusi tentang melahirkan normal dan cesar.
“Keributan” ini dipicu oleh postingan seorang wanita yang menulis :
“Allhamdulillah aq melahirkan 2 anak scara normal…
Tanpa berisiko dan aq bersyukur bgt kpd yang kuasa…
Klo ibu melahirkan secara caeessaaaarrr itu ngga hebat jd Ibu..”
Pada tulisan saya ini bukan bermaksud untuk ikut terjun dalam “keributan” itu, melainkan ingin berbagi pengalaman saya yang hampir melahirkan sesar walaupun Alhamdulillah pada akhirnya saya bisa melahirkan normal untuk kedua anak saya.
Pengalaman Hampir Cesar
Saat proses melahirkan anak pertama, saya memang hampir menjalani operasi sesar. Segala proses ke meja operasi sudah dibereskan termasuk penandatanganan persetujuan dari suami saya.
Supaya lebih lengkap, saya ceritakan dari awal saja ya. Sejak pertama kali ingin punya momongan, saya dan suami selalu berdoa agar bisa melahirkan secara normal. Segala anjuran medis dan petuah-petuah saya lakoni, agar janin saya bisa gampang keluar dari rahim.
Upaya melancarkan persalinan getol saya lakukan terutama pada dua pekan sebelum HPL (hari perkiraan lahir) seperti jalan jongkok, mencuci baju jongkok (kebayang ya perut sebesar itu harus mencuci jongkok, hehehe semuanya demi…), jalan pagi, dan bersujud lama-lama.
Saya pun patuh menaati pantangan-pantangan yang serasa tidak masuk akal, misalnya tidak boleh duduk di depan pintu, tidak boleh mengalungkan handuk di leher, tidak boleh duduk di lantai, dan banyak lagi. Semua itu saya lakukan demi bisa melahirkan normal.
Sampailah pada hari yang dinanti, 4 Februari 2011. Tepat selepas Sholat Magrib, kandungan saya mulai kontraksi dan mengelurkan bercak darah tanda-tanda janin saya sudah ingin dilahirkan.
Dengan menggunakan motor, saya dan suami menuju klinik salah satu dokter kandungan langganan saya yang ada di Nagoya, Batam. Sampai sana, semuanya berjalan normal. Setelah diperiksa, posisi bayi normal tidak ada masalah untuk melahirkan normal.
Rasa sakit karena kontraksi yang luar biasa pun terus menguat sebagaimana mestinya dan tidak ada tanda-tanda ada kelainan.
Tepat sebelum subuh, sekitar pukul empat pagi, sang dokter datang setelah dapat laporan dari bidan jaga bahwa jalan lahir saya sudah bukaan 10.
Saya pun diinjeksi agar proses persalinan lebih cepat. Saya juga sudah memakai oksigen agar saya dan janin di dalam rahim tidak sampai kekurangan oksigen.
Atas bimbingan sang dokter dan bidan yang ada, proses persalinan pun dimulai. Saya mengejan beberapa kali. Mengejan dan mengejan lagi.
Namun, setelah kurang lebih 30 menit mengejan ternyata janin saya tidak mau keluar. Posisinya justru agak menjauh dari pintu keluar bayi.
Dokter punya perhitungan lain. Dia meminta saya dan suami untuk melanjutkan persalinan di RSOB (Rumah Sakit Otorita Batam) atau sekarang namanya RSBP. Mengapa harus ke sana? Ya karena itu adalah rumah sakit utama sang dokter. Saya dan suami ikut saja dan percaya pada sang dokter. Saya pun diangkut ke sana dengan taksi karena lama menunggu ambulans.
Bayangkan dari Nagoya ke Sekupang naik taksi dalam kondisi siap melahirkan. Jarak tempuhnya sekitar 30 menit.
Dari ruang persalinan klinik menuju taksi saya juga harus berjalan dibantu suami dan bidan karena ruang persalinan klinik itu ada di lantai dua. Ketika itu klinik tidak memiliki lift melainkan hanya anak tangga.
Kondisi saya saat itu baik-baik saja tanpa ada merasa lemas. Namun, mungkin karena injeksi rangsangan, bawaan saya terus menerus ingin mengejan. Rasa itu tidak tertahankan. Moms yang pernah melahirkan normal pasti tahu bagaimana rasanya.
Di dalam taksi di sepanjang jalan pun, saya terus mengejan dan mengejan. Bidan dan suami saya yang mendampingi di dalam taksi beberapa kali meminta saya untuk menahan agar tidak mengejan, tetapi saya tidak bisa menahannya. Rasa itu muncul begitu saja dan secara refleks saya mengejan dan terus mengejan. Namun, janin saya tidak juga keluar.
Perjalanan di dalam taksi pun aman tanpa ada persalinan. Sampai di RSBP sekitar pukul 05.15 WIB, saya langsung dimasukkan ke ruang bersalin. Saya hanya terbaring di ruang persalinan dengan infus di tangan dan oksigen di hidung.
Cukup lama saya bengong. Sementara kontraksi dari perut saya sudah hilang bahkan tidak terasa apapun lagi. Saya hanya memandangi sekeliling ruangan dan jam dinding yang tepat ada di depan tempat tidur. Ada sejumlah ibu-ibu juga sedang proses persalinan.
Detik-Detik ke Meja Operasi
Sampai sekitar pukul 05.50 WIB, suami saya masuk. Raut wajahnya sangat cemas dan agak lemas. Dia menenteng map merah berisi sejumlah berkas.
Dia menghampiri saya dengan sedih. “Jeng, kayaknya harus operasi. Gemana?”tanyanya dengan suara lembut tapi lirih. (air mata saya berurai saat menuliskan kembali deskripsi raut wajah suami yang begitu penuh kekhawatiran)
Awalnya saya ragu menjawab,” Harus operasi ya? Sama sekali gak bisa normal?”
Suami saya menggelengkan kepala.
“Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Anak kita kan harus dikeluarkan,” saya langsung menjawab tegas.
Yang saya pikirkan ketika itu hanya satu anak saya harus lahir apapun caranya. Walaupun demikian di dalam hati saya tetap berdoa: “Ya Allah bantulah hambamu yang lemah ini melahirkan secara normal.”
Setelah mendengar jawaban kedua saya, suami saya dengan yakin menandatangani dokumen operasi tersebut dan keluar ruang persalinan untuk urusan selanjutnya.
Tidak lama kemudian, perawat dan bidan mulai menghampiri saya untuk persiapan operasi termasuk membersihkan areal kewanitaan.
Tak lama berselang, sang dokter datang. Ketika dia mengecek keadaan saya, saya sempat menggeggam tangannnya dan bertanya,”Dokter….apakah benar-benar tidak bisa saya melahirkan normal?”
Di saat seperti itu saya tetap ingin melahirkan normal. Kemudian dokter tersebut dengan lembut menjawab,”Kita lihat kondisi janin sekarang ya Bu. Kalau bisa normal akan kita usahakan normal.”
Jawabannya itu sangat melegakan saya. Saya memang takut ke meja operasi. Ntahlah, operasi melahirkan bagi saya sangat menakutkan. Apalagi, saya dan suami di Batam tidak ada yang membantu.
Andaikan operasi, harus ada keluarga yang datang untuk mengurus saya karena suami tidak bisa cuti terlalu lama. Yang saya baca, penyembuhan pasca operasi sesar pastinya lebih lama dari melahirkan normal.
Suami saya menganggap saya memang agak “paranoid” karena kadang-kadang terlalu khawatir akan sesuatu yang belum terjadi. Saya juga takut jarum suntik yang panjang yang akan ditusukkan ke tulang belakang untuk proses pembiusan.
Singkat cerita, setelah dokter memeriksa janin untuk yang terakhir kali, dia menyampaikan bahwa posisi kepala janin saya sudah lebih rendah dan mendekati pintu keluar. Namun, harus dibantu dengan vakum agar cepat keluar.
Sebelum tindakan itu diambil, saya sempat menanyakan kepada dokter apa resiko yang akan dialami anak saya jika divakum. Dia memastikan bahwa beberapa hari kepala bayi akan berbentuk lonjong tetapi nanti kembali ke bentuk semula. Dia juga mengatakan tidak akan terjadi kelainan otak ataupun gangguan kesehatan lainnya.
Setelah mendengarkan itu, daripada sesar, saya pilih jalan kedua yang penting bisa normal.
Proses Persalinan dengan Vakum
Akhirnya, proses persalinan normal dimulai dan ditangani sang dokter dibantu dua perawat serta bidan. Dua orang perawat bertugas di bagian perut atas guna membantu mendorong janin keluar dan satu bidan di samping dokter membantu proses vakum.
Dengan arahan mereka, saya mengejan walaupun tidak merasakan ada kontraksi. Dua-tiga kali saya mengejan, Alhamdulillah putri pertama kami lahir dengan selamat.
Dia begitu cantik dengan rambut yang hitam. Beratnya 2,8 kg dan panjang 52 cm. Berat bayi memang tidak besar namun ternyata dia agak tersangkut di pintu lahir.
Pesan yang ingin saya sampaikan di sini, apapun cara melahirkan, yang terpenting adalah anak dan ibu bisa selamat dan sehat selalu pasca melahirkan.
Bagaimanapun proses melahirkannya, menurut saya, rasa sakitnya tidak bisa dilukiskan dan dinilai dengan apapun. Namun, bagi saya, rasa sakit saat melahirkan buah hati tercinta adalah suatu anugerah tiada tara.
Tulisan tentang pengalaman melahirkan anak kedua akan saya paparkan pada tulisan berikutnya ya….
Semoga sharing pengalaman ini bisa memotivasi para calon Moms untuk siap menghadapi apapun kondisi saat melahirkan. (sri murni)
SALAM SAYANG untuk MOMS SEMUA!
Saya dulu juga mikirnya sama kayak yang bikin status itu. Kayaknya lebih perfect jadi ibu kalau bisa lahiran normal.
Tapi ya, di dunia ini kan ngga ada yg sempurna yah mak. Akhirnya saya ditakdirkan melahirkan caesar, untuk menghindari resiko dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Sejujurnya saya takut masuk ruang operasi. Takut setelah masuk sana saya gak bisa keluar lagi 🙁
Apapun caranya, melahirkan itu adalah antara hidup dan mati seorang ibu demi seorang anak. Melahirkan itu terlalu mulia untuk dibanding-bandingkan.
Wah… true bangets Mak… saya terharu dengan ending komentar Emak.. memang gak layak dibanding-bandingkan. Normal atau sesar adalah sama mulianya….
Yup, melahirkan apapun caranya, yang penting ibu dan bayi sehat selamat. Ketiga anakku lahir normal, syukurlah, tidak perlu sesar, aku ngerii ngebayangin pisau2 operasi *emak2 penakut hihi.
Sama kita Kak… saya juga emak penakut dengan meja operasi beserta para onderdilnya… Alhamdululillah saya melahirkan normal….