SUDAH menjejakkan kaki di Banda Aceh, rasanya tidak lengkap jika tidak ke Nol Kilometer Indomesia bagian barat yang terletak di Sabang Pulau W.
Hari kedua keberadaan saya and my big family di Banda Aceh, kami habiskan untuk menyeberang ke Pulau W dan mengelilinginya sampai ke kawasan paling barat Indonesia, dimana tugu titik Kilometer Nol berada.
Walaupun jumlah rombongan kami ada 18 orang (9 dewasa dan 9 anak-anak), namun tidak semua ikut menyeberang ke Pulau W karena mereka masih kelelahan setelah 18 jam di atas mobil dari Medan ke Banda Aceh.
Bagaimana cerita perjalanan Medan-Aceh, dapat dibaca di sini ya!
Naik Roro dari Banda ke Sabang
Alhasil, saya berangkat bersama duo crucils dan ditemani tiga ponakan yang ganteng-ganteng, sekaligus menjadi bodyguards kami. Mereka adalah M Azmi atau biasa disapa Bang Meme, Tri Pengayom alias Bang Ayom, dan Muchti Ali alias Bang Cimut.
Kami berangkat dari rumah Bang Untung (tempat kami menginap) pagi-pagi sekali, sebelum subuh. Tentu saja dengan harapan mendapatkan tempat di atas kepal penyeberangan, mengingat ketika itu adalah hari libur Natal, 25 Desember 2018.
Karena kami berangkat sebelum azan subuh, kami berasumsi kamilah calon penumpang pertama yang tiba di Pelabuhan Ulee Lheue. Ternyata, begitu kami sampai di pelabuhan yang tidak begitu jauh dari pusat kota Banda Aceh, sudah banyak calon penumpang yang menunggu kapal penyeberangan. Padahal, loket pembelian tiket masih tutup dan baru akan dibuka pada pukul 06.30 WIB.
Kami pun menyempatkan diri sholat Subuh di pelabuhan dan kemudian duduk-duduk santai di depan pintu masuk pelabuhan Roro seraya menunggu pembukaan loket tiket. Fasilitas Pelabuhan Ulee Lheue sudah cukup baik dan bangunan yang permanen. Pelabuhan ini juga bersebelahan dengan pantai Ulee Lheue yang menjadi tempat rekreasi penduduk lokal dan para pelancong.
Saat petugas loket tiba, saya langsung berdiri di barisan depan, bersama para penumpang lainnya. Tidak lama berselang, tiket sudah berada di tangan. Tarif menyeberang untuk orang tanpa kendaraan relatif murah yakni:
Dewasa Rp25.000
Anak-anak Rp15.500
Di sini, kita tidak bisa membeli tiket pergi-pulang (PP). Sebab, jadwal Roro tidak begitu pasti, bisa lebih cepat ataupun lebih lambat. Bahkan, frekuensinya pun bisa dikurangi maupun ditambah. Namun, regularnya, Roro Banda-Sabang, tersedia pagi, siang, dan sore.
Lama perjalanan sekitar 1,5 jam. Di atas Roro, kita bisa menikmati sunrise (matahari terbit) dan pemandangan indah bukit-bukit nan hijau yang berjajar di sekiar laut Banda. Penumpang bisa duduk di dalam maupun di bagian geladak depan, belakang, dan samping.
Saya menyarankan, bagi yang ingin jalan-jalan ke Sabang, lebih baik tidak membawa kendaraan menyeberangi Roro karena akan memakan waktu lebih lama. Bahkan, jika masa liburan, kendaraan bisa tidak terangkut karena penuh. Sementara jika membawa badan saja, kapan pun bisa diangkut.
Lebih baik sewa kendaraan di Pelabuhan Sabang, seperti yang kami lakukan.
Sewa Motor untuk Keliling Pulau W
Sesampainya di Pelabuhan Sabang, waktu masih menunjukkan pukul 08.30 WIB. Kami pun bergegas meninggalkan ponton dan langsung menuju pelataran parkir. Kondisi pelabuhan Roro Sabang ini belum begitu bagus, masih proses pembangunan sehingga debu beterbangan dan tidak dilengkapi pedestrian. Jadi, harus pandai-pandai mencari jalan di antara padatnya truk, mobil, dan motor yang hendak keluar pelabuhan.
Jangan lupa, jika tidak ingin menginap di Sabang, maka begitu sampai pelabuhan, tanyalah ke petugas jadwal kapal Roro terakhir ke Banda Aceh. Kebetulan, hari itu kami mendapatkan jadwal penyeberangan paling akhir adalah pukul 15.00 WIB. Sehingga, kami memiliki waktu yang cukup untuk berkeliling pulau, sekitar lima jam. Tiket Roro Sabang-Banda, juga baru bisa dibeli sebelum berangkat.
Sesampainya di parkir pelabuhan, banyak yang menawari penyewaan motor dan mobil. Sebelumnya saya sudah mendapatkan informasi, jika masa liburan tarif sewa motor bisa lebih mahal yakni Rp150-200 ribu sehari.
Seorang lelaki pun menghampiri kami dan menawarkan penyewaan motor metik. Dia memberikan harga Rp200 ribu sehari. Karena kami berenam (4 dewasa dan 2 anak-anak), kami pun membutuhkan dua motor. Mengingat kami hanya akan memakai motor tersebut sekitar lima jam saya pun menawarnya menjadi Rp 200 ribu untuk dua motor. Dan, Alhamdulillah si Abang sepakat.
Dia meminta KTP saya sebagai jaminan dan uang tunai untuk sewa motor (bayar di depan ya). Dia pun memberikan helm (4 buah) serta STNK. Perjanjiannya, motor akan kami kembalikan sebelum Roro terakhir berangkat. Jangan lupa untuk meminta nomor telepon yang menyewakan motor.
Begitu mendapatkan motor, jangan lupa harus mengecek kondisi motornya. Buat perjanjian ke yang empunya, jika motor bermasalah di tengah jalan, maka harus ada motor pengganti yang diantarkan ke tempat kejadian.
Setelah mendapatkan motor, segera mengisi bahan bakar di SPBU yang letaknya sekitar 5 km dari Pelabuhan, dan berada di sisi kanan. Ini adalah satu-satunya SPBU yang paling dekat. Jarak Pelabuhan dengan Kota Sabang lumayan jauh, memakan waktu sekitar satu jam. Kami pun mengisi penuh masing-masing tangki motor. Tidak banyak, hanya Rp20-25 ribu. BBM ini cukup untuk jalan-jalan dan kembali ke pelabuhan.
TIPS Menyewa Motor:
- Tawar tarif sewa secara logis. Misalnya, jika ditawarkan Rp 200.000 sehari, namun kita memakainya tidak sampai seharian, maka bisa menawarnya Rp100-150 ribu.
- Jangan lupa minta nomor telepon yang menyewakan motor dan pastikan nomor tersebut aktif.
- Jangan lupa minta helm dan STNK motor untuk menghindari ditilang polisi saat ada razia.
- Cek kelengkapan motor mulai dari bodi, ban, lampu sign, dan peralatan montir utama (obeng, pembuka busi, dll).
- Bikin perjanjian (walau hanya lisan), bahwa yang menyewakan motor akan memberikan motor pengganti jika terjadi kerusakan di tengah jalan. Minta dia mengantarkan motor pengganti ke tempat kejadian.
- Bikin perjanjian (walau hanya lisan) terkait waktu pemakaian motor. Jam berapa kira-kira motor akan dikembalikan.
- Foto motor yang disewa bersama dengan yang menyewakan. Ini sebagai “jaga-jaga” jika ada hal buruk yang terjadi.
- Segera isi bensin di SPBU terdekat dengan Pelabuhan karena di Sabang sangat jarang SPBU. Namun, kedai-kedai yang menjual BBM botolan banyak di pinggir jalan walau harganya pasti lebih mahal.
- Jangan lupa meminta KTP atau pengenal lain yang Anda jadikan jaminan saat mengembalikan motor.
Ditawari Guide, tapi Harus Hati-hati
Begitu keluar dari Pelabuhan Sabang dan menuju SPBU, jangan kaget jika diikuti oleh beberapa motor. Mereka adalah para pemuda lokal yang menawarkan jasa guide (pemandu wisata).
Mereka sepertinya sangat paham dengan gelagat para pelancong yang baru kali pertama ke Sabang. Setelah isi bensin di SPBU, mereka akan menawarkan jasa “peneman” sampai ke tujuan utama Titik Kilometer Nol ditambah beberapa tempat wisata yang sejalan. Mereka memandunya pun dengan menggunakan motor. Mereka akan berkata bahwa, jalan ke Titik Nol Kilometer berkelok-kelok, dan apabila tidak ada pemandu, bisa tersesat ataupun lambat di perjalanan.
Ehmmmm saya sempat tergoda juga untuk memakai jasa mereka (dua pria berboncengan satu motor) karena memang baru kali pertama ini ke Sabang dan dari referensi yang saya baca, jalan ke Titik Kilometer Nolmemang berkelok-kelok. Kami juga sempat tawar-menawar jasa guide. Dari angka Rp150 ribu menjadi Rp80 ribu.
Dan lucunya, si pria tinggi meminta uang muka Rp30.000 untuk isi bensin. Saya pun memberikan uang tersebut dan temannya langsung antre hendak isi bensin di SPBU. Sementara kami menunggu di pintu keluar SPBU.
Namun, sesaat kemudian saya baru tersadar, untuk apa menggunakan jasa guide kalau hanya sebagai penunjuk jalan? Kan kami punya GPS. Lagipula, kata yang empunya motor sewaan ini, jalan di Sabang tidak banyak. Jika hendak ke Titik Kilometer Nol, hanya ada satu jalan. Ah, rasanya sia-sia saja kalau harus pakai guide.
Alhasil, jasa mereka saya batalkan. Dan, uang muka yang sudah saya berikan dikembalikan. Untungnya, uang tersebut belum sempat digunakan untuk isi bensin motornya. Hehehe
Sampai Juga di Titik Nol Kilometer
Perjalanan dari Pelabuhan Sabang ke Titik Kilometer Nol kurang lebih 1,5 jam dengan kecepatan standar, 60 km/jam. Berdasarkan Google Map, jaraknya sekitar 28,5 km. Jalannya memang hanya satu dan kondisinya cukup mulus.
Untuk sampai ke Titik Kilometer Nol memang harus melewati jalan yang berkelok-kelok, naik dan turun bukit. Namun, perjalanan tersebut tidak melelahkan karena pemandangan kiri dan kanan jalan yang menakjubkan. Birunya laut berpadu dengan hijaunya bukit-bukit. Kami pun melewati hutan yang cukup lewat.
Karena perut sudah mulai keroncongan, di tengah perjalanan kami singgah di rumah makan padang untuk membeli nasi bungkus. Guna menghemat waktu, kami putuskan untuk makan siang setelah sampai di tempat tujuan.
Setelah mengendari motor kurang lebih 1.5 jam, kami pun sampai ke tempat wisata paling diimpikan, Titik Kilometer Nol. Senang dan haru karena perjalanan ini sudah sangat lama saya impikan.
Sesampainya di lokasi, kami pun langsung disambut oleh petugas parkir dan diarahkan untuk meletakkan motor ke tempat yang disediakan. Tidak ada pungutan uang masuk ke objek wisata ini, hanya bayar uang parkir sebesar Rp5.000 untuk motor.
Karena saat itu hari libur, tempat wisata ini padat pengunjung. Di bagian depannya, berdiri sebuah musholah. Kemudian, di samping kanan dan kiri jalan menuju tugu Kilometer Nol, ramai dengan pedagang sauvernir, makanan, dan jajanan khas Aceh. Satu di antaranya adalah rujak Aceh yang enak bangets! Ciri khas rujak Aceh ini adalah adanya campuran buah rumbia atau pohon sagu yang rasanya asam-asam sepat dan buah batok yang rasanya kelat.
Tentang Tugu Kilometer Nol
Monumen atau Tugu Kilometer Nol (KM) ini berada di Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sesuai dengan namanya, tugu ini menjadi titik paling barat batas wilayah daratan Indonesia. Penetapan ini dilakukan berdasarkan kajian yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menggunakan Global Positioning System (GPS).
Di sekelilingnya terbentang Samudra Hindia. Tugu ini diresmikan kali pertama oleh Wakil Presiden Tri Sutrisno masa Orde Baru, pada 9 September 1997.
Tugu ini sempat mengalami renovasi berkali-kali dan kini terlihat megah. Berdasarkan keteranagan pada prasasti yang ada di tugu, ketinggiannya mencapai 43.6 meter. Desainnya bulat dengan beberapa ornamen yang apik dan memiliki beberapa filosofi.
Pertama, disokong empat pilar penyangga yang berarti simbol batas-batas negara (utara, selamat, barat, dan timur) dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote.
Kedua, lingkaran besar yang ada di Tugu merupakan analogi dari angka 0 (NOL).
Ketiga, senjaga khas Aceh yakni Rencong yang merefleksikan bahwa rakyat Aceh ikut berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Keempat, segi delapan yang menggambarkan adanya landasan ajaran Islam, kebudayaan Aceh dan Nusantara yang berpadu dalam lingkup yang luas sesuai 8 penjuru mata angin.
Sebagai tempat tujuan utama wisatawan di Sabang, Tugu Kilometer Nol sudah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai yakni musholah, toilet, taman, dan tempat duduk yang jumlahnya cukup banyak.
Yang perlu dilakukan pengunjung hanyalah menjaga kebersihan dan tidak merusak apapun yang sudah ada di sana! Namun, tetap saja, meskipun tulisan larangan buang sampah sembarang tertera dimana-mana, kebiasaan buang sampah sesuka hati warga kita tidak bisa dihilangkan. Alhasil, di beberapa tempat tampak sampah berserakan. Padahal banyak disediakan tempat sampah.
Spot-spot cantik juga tersedia mulai dari bagian atas tugu sampai bagian bawah.
Keliling Pantai Iboih, Kota Sabang dan Balohan Hilltop
Kami tidak berlama-lama (hanya 30 menit) menikmati keindahan Tugu Kilometer Nol karena ingin mengunjungi beberapa objek wisata lain yakni Pantai Iboih, Kota Sabang, dan Bukit Balohan.
Ketiga objek wisata tersebut sejalan arah pulang ke Pelabuhan Sabang. Pantai Iboih terletak tidak begitu jauh dari Tugu KM 0, hanya sekitar 15 menit dan jalannya pun menurun.
Ini merupakan pantai terkenal di Sabang dan menjadi salah satu spot snorkeling dan diving utama. Masuk ke objek wisata ini membayar Rp5.000 per orang plus parkir Rp5.000 untuk motor.
Pantai ini memang sangat ramai di hari libur. Fasilitas untuk snorkeling dan diving disediakan. Harga sewanya Rp40.000 per orang (snorkeling). Pengunjung bisa snorkeling di luat dangkal sekitar pantai atau bisa pula menyewa sampan untuk menuju titik selam yang lebih dalam.
Setelah Pantai Iboih, kami lanjut memacu motor ke Kota Sabang. Di tengah perjalanan, kami tergoda dengan tulisan Air Terjun, 3 km di sebelah kanan jalan. Kami pun berbelok mengikuti petunjuk arah. Sesampainya di pintu masuk, kata penjaga untuk sampai ke air terjun tersebut harus berjalan kaki sekitar satu jam. Melihat jam sudah pukul 12.30, kami pun mengurungkan niat dan balik arah ke Kota Sabang.
Berkeliling Kota Sabang, ternyata banyak yang dilihat. Sabang merupakan salah satu kota berikat di Indonesia. Di sini, objek wisata yang bisa dinikmati adalah pantai berpasir putih, museum Sabang, dan taman kota.
Tujuan terakhir sebelum benar-benar menuju pelabuhan Sabang adalah Balohan Hilltop. Letaknya sangat dekat dengan Pelabuhan. Jadi, seraya menunggu kapal Roro terakhir, kami pun melaju motor naik ke puncaknya dan bersantai sejenak menikmati pemandangan yang terpampang indah. Perpaduan laut dan bukit, serta jalan mulus yang mendaki dan menurun.
Well, seru kan my blog readers jalan-jalan lima jam keliling Pulau W? Moga bermanfaat ya sharing saya!
HAPPY TRAVELING KELUARGA INDONESIA!
Wahh seru banget nih petualangan keluarganya mba menix. Wah kayaknya wajib datang juga ke titik nol kilometer indonesia nih, secara titik nol nya indonesia nih hehe. Okey noted tips nya mba, nanti kesana mau sewa motor juga ah pasti seru
Jadi pengen cepat cepat ke Sabang deh. Naik motor dari Medan sekitar 12 jam. Teman menyarankan untuk lima hari biar puas.
By the way, itu ditawar ga marah ya kak? Beruntung banget 5 jam bisa dapat 200 ribu. Biasa mana ada yang mau karena mereka kasih rental sehari. Tapi salut deh bisa belajar dari sini. Terima kasih ya kak
Seru banget ya
apalagi keluarga hobi jalan gini
diajak muter muter kemana mana mau aja
duh jadi iri
secara hubby ga suka jalan2 gini
tapi nanti saya tetap akan jalan2 deh berdua dengan anak hehehe
Wah seru banget travelingnya jd pengen,saya orang jogja pengen kevsana
Iya memang seru…. saya juga pengin ke sana lagi. Hehehe