Home / Inspirations / Pengalaman Jadi Relawan Panti Jumpo di Australia : Menemani Kakek Berusia Hampir Satu Abad
English English Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia

Pengalaman Jadi Relawan Panti Jumpo di Australia : Menemani Kakek Berusia Hampir Satu Abad

Seorang lansia di Panti Jumpo Campbell, Canberra, Australia.

SUATU pagi di bulan Desember 2012, HP saya berbunyi.

Deringnya bukan  nada panggil melainkan SMS. Ya, sebuah SMS dari seorang teman baik baru saja masuk.

Saya cepat-cepat membaca isinya. Ternyata sebuah ajakan yang sungguh menantang.

“Menix, do you want to joint with me to be a volunteer in a nursuring home? We need to visit and talk to some elders” begitu isi SMS tersebut.

Wah, menarik ni. Apalagi saya memang belum pernah menjadi sukarelawan bagi para lansia.

Jangankan jadi sukarelawan, mengunjungi panti jompo aja belum pernah, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Tanpa pikir panjang dan banyak pertanyaan, saya pun mengiyakan ajakan tersebut.

Selanjutnya dia berjanji menjemput saya sore hari kemudian langsung ke tempat yang dituju.

Di jam yang telah kami sepakati, dia pun menjemput saya menggunakan mobil.

Pantai jompo yang kami tuju adalah Southern Cross Care Campbell Residential Aged Care.

Tempatnya berlokasi di daerah Campbell, ACT (Australia Capital Territory), dan tidak begitu jauh dari rumah kos saya yang. berlokasi di North Lynhem. Naik mobil sekitar 30 menitlah.

Panti Jumpo Sangat Krusial

Tidak seperti di Indonesia, keberadaan pantai jumpo di Australia sangatlah penting.

Kalau di Indonesia, kemungkinan satu kota/kabupaten hanya memiliki satu panti jumpo yang umumnya disediakan pemerintah, di Australia satu kota bisa punya belasan bahkan puluhan pantai jumpo baik dikelola pemerintah maupun swasta.

Keberadaan panti jumpo di sini sangat penting sebagai tempat keberlangsungan hidup para senior (sebutan lansia di sini).

Tidak heran, jika panti jumpo merupakan satu bisnis yang menjanjikan karena rata-rata orang Australia menabung untuk masa tuanya.

Mereka telah menyiapkan dana untuk masa pensiun dan hidup selama di panti jumpo dengan jumlah yang tidak kecil.

Banyaknya pantai jumpo di sini juga dipengaruhi oleh budaya hidup masyarakatnya.

Jika di Indonesia kebanyakan para lansia hidup bersama anak-anak mereka, tapi di sini banyak lansia memilih hidup di panti jumpo karena beberapa faktor.

Umumnya, mereka tidak ingin menyusahkan anak-anak mereka yang sudah  pasti punya segudang kesibukan.

Alasan lain, di panti jumpo mereka merasa punya banyak teman dan tidak pernah terabaikan.

Ada pula alasan karena tidak cocok dengan tinggal bersama anak-anak mereka.

Alasan yang terakhir ini merupakan yang dialami oleh seorang lansia yang kami jumpai di panti jumpo di Campbell ini.

Dia adalah seorang veteran. Pria berusia 99 tahun. Saat kami ke sana, dia akan berulang tahun yang ke-100 beberapa bulan lagi.

Meskipun usianya mendekati 100 tahun, kakek satu ini masih kuat berjalan dan melakukan aktivitas harian dengan mandiri.

Saat kami mengunjunginya, dia sedang berada di dalam kamar dan sudah siap menyambut kami.

Dia adalah orang yang ramah dan enak diajak bicara.

Setelah say hallo dan menanyakan kabar masing-masing, kami mengajaknya untuk berkeliling ruangan dan menuju taman, serta menyapa para lansia yang ada di panti ini.

Tujuan kami hari ini, memang tidak sekadar mengajak si kakek bertemu dan bercerita, melainkan akan membawanya ke Australian National Botanic Garden yang lokasinya tidak begitu jauh dari Black Mountains.

Tepatnya, Botanic Garden ini berada di belakang area kampus saya, ANU (Australia National University).

Dia sangat senang kami ajak jalan ke Botanic Garden. Baginya, jalan-jalan keluar panti memang tidak bisa dilakukan setiap saat.

Apalagi dia sudah tidak bisa menyetir dan dua anaknya pun sangat jarang mengunjunginya.

Dia memutuskan untuk tinggal di panti ini setelah ada cekcok dengan anaknya.

Lagipula, dia punya cukup uang untuk membayar panti jumpo yang tentu saja tidak murah.

Dia juga tidak ingin tinggal di rumahnya seorang diri karena merasa kesepian.

Alhasil rumahnya ia sewakan karena kedua anaknya sudah punya kehidupan masing-masing.

Berkeliling Botanic Garden

Papan nama Australian National Botanic Garden, Canberra, Australia.

Saya salut dengan kakek yang satu ini. Usia boleh mendekati satu abad, tapi semangatnya untuk hidup luar biasa.

Sambil menggandeng tangan teman saya, pelan-pelan dia berjalan menyusuri Botanic Garden yang hijau dan sangat rimbun.

Taman ini juga memiliki kontur tanah yang tidak flat, melainkan naik dan turun. Si kakek ternyata tetap kuat untuk melangkah.

Salah satu sudut di dalam Botanic Garden.

Sepanjang kami jalan-jalan, dia menceritakan semua aktivitas selama tidak dikunjungi teman saya.

Beberapa hari lalu, dia sempat sakit demam yang membuatnya harus berbaring di tempat tidur.

Dia pun tidak kuat untuk melakukan hal-hal peribadi sendirian, terutama untuk urusan ke kamar mandi.

Dia kerap meminta bantuan para perawat. Kata dia, rasanya sangat tidak enak jika hidup bergantung pada orang lain dan menyusahkan mereka.

Meskipun dia membayar cukup mahal panti jumpo, namun, kata dia, tujuan utama berada di sana adalah bukan untuk menyusahkan para perawat melainkan agar hidupnya tetap memiliki teman.

Dari perbincangan kami, saya tersadarkan bahwa orangtua kita tidaklah begitu membutuhkan materi saat sudah rentah.

Yang mereka perlukan adalah teman, terutama teman bercerita.

Sebab itu, di setiap panti jumpo di Australia selalu membuka selebar-lebarnya bagi warga yang ingin menjadi sukarelawan mengunjungi dan menemani para lansia di sana.

Prosedur jadi Relawan

Untuk menjadi relawan, tentu saja ada prosedur yang harus dijalani yakni mendaftar kemudian mengikuti screening atau wawancara.

Setelahnya baru dipertemukan dengan sejumlah lansia yang kira-kira cocok dengan kita.

Kecocokan itu bisa dari hobi, latarbelakang, maupun karakternya.

Untuk awal-awal, para relawan hanya boleh menemui dan mengajak lansia jalan-jalan di dalam areal panti, baik di dalam maupun di tamannya.

Saat kita hendak menemui lansia yang dituju, biasanya pengelola panti akan melaporkan kondisi kekinian si lansia.

Jika kesehatan mereka tidak baik, biasanya juga kita dianjurkan untuk sekadar menjenguk.

Seorang relawan bisa mengajak lansia jalan-jalan ke luar panti, seperti yang kami lakukan, jika memang sudah cukup lama dikenal baik oleh lansianya maupun pengelola panti.

Namanya relawan, jangan terbesit untuk mendapatkan bayaran dari apa yang dilakukan.

Jika kita termasuk orang yang suka akan aktivitas baru dan menambah pengalaman, maka menjadi sukarelawan seperti ini memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga.

Jika kita tidak bisa berbagi materi kepada orang lain, maka berbagilah kasih sayang untuk mereka yang membutuhkan. (sri murni)

 

2 comments

  1. Annisa Rizki Sakih (@Annisakih)

    Huaaa mbak Menix, saya sempat kepikiran lho soal panti jompo ini. Soalnya orang2 luar negeri tuh lebih prefer tinggal di panti ya dari pada sama anak sendiri. Jd ngeh sama berbagai alasannya sekarang.

    Kalau saya sih, lihat gimana nanti ya.. Tapi secara prinsip, sebagai orang Indonesia lebih baik tinggal di rumah sendiri. Mungkin nyari perawat seandainya anak(-anak) tinggal berbeda kota.

Leave a Reply to Annisa Rizki Sakih (@Annisakih) Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.