Home / My travelling / Family Touring: 18 Jam Jalan Darat Medan-Aceh, Terpesona Masjid-Masjidnya
English English Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia

Family Touring: 18 Jam Jalan Darat Medan-Aceh, Terpesona Masjid-Masjidnya

Ini adalah cerita pengalaman jalan-jalan bareng keluarga besar saya akhir tahun 2018 lalu. Dan, perjalanan ini adalah family touring kecil-kecilan dengan rute Medan ke Banda Aceh, kemudian menyeberang ke Pulau W, keliling Sabang dan menyambangi Tugu Titik Nol Kilometer ujung barat Indonesia.

Jalan-jalan ke Tanah Rencong memang sudah sangat kami impikan sejak lama. Walaupun Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) itu tetangga dekat Sumatera Utara, saya sebagai orang Sumut belum pernah menginjakkan kaki ke sana. Perjalanan akhir tahun lalu menjadi langkah perdana saya ke sana.

Standby di atas Panther sambil menunggu yang lain. Photo by menixnews.com.

Kami berangkat dari kota asal saya, Tebing Tinggi yang jaraknya sekitar dua jam dari Medan, pada Minggu (23/12/2018), pukul 08.00 WIB. Kami membawa dua mobil pribadi bermuatan sembilan dewasa dan sembilan anak-anak.

Mobil yang kami kendarai adalah Panther keluaran tahun 90-an dan Panther touring keluaran 2010. Kami menempuh jalur utara melewati Medan, Langsa, dan Bireuen, Jalur ini kami pilih karena jaraknya lebih dekat yakni sekitar 684 kilometer. Sementara jika mengambil jalur tengah dan selatan, pastinya lebih jauh.

Peta Jalur utara dan selatan Sumut-Aceh. Photo by google

Jika dilihat dari google map, perkiraan perjalanan hanya sekitar 13.5 jam. Namun, nyatanya perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 18 jam. Ini karena kami mengemudi dengan santai serta banyak berhenti untuk sholat, istirahat, dan makan.

Asyiknya perjalanan darat ini, pastinya bisa melihat alam yang dilalui lebih detail. Kondisi jalan Medan-Aceh juga sudah sangat baik karena aspal yang mulus. Hanya ada beberapa bagian saja yang kondisi jalannya tidak bagus yakni daerah perbatasan antara Sumut dan Aceh.

Sepanjang perjalanan, kondisinya juga sudah sangat ramai dengan rumah-rumah penduduk. Meski begitu, ada dua daerah yang lumayan sepi yakni perbatasan Sumut-Medan karena terdapat perkebunan sawit, serta daerah Sagoe, sebagai kawasan hutan lindung.

Terpesona Masjid-Masjid di Aceh

Meskipun perjalanan cukup panjang dan pasti melelahkan, namun bagi saya tetap mengasyikkan. Apalagi, di sepanjang jalan lintas Medan-Aceh berdiri masjid-masjid yang indah dan sangat nyaman bagi para musafir seperti kami.

Saat waktu sholat tiba dan tubuh mulai lelah dan lapar, kami membelokkan mobil ke masjid terdekat. Rata-rata masjid di Aceh memiliki desain bergaya Timur Tengah dengan menara yang menjulang. Hampir semua masjid dilengkapi dengan kamar mandi sehingga musafir yang singgah bisa memanfaatkannya untuk membersihkan badan.

lah satu masjid yang kami singgahi dalam perjalanan ke Medan-Aceh. Photo by menixnews.com

Selain itu, di bagian depan masjid disediakan bale-bale atau gazebo kecil yang bisa digunakan untuk tempat istirahat dan makan. Menurut seorang teman baik asli Aceh yang juga sebagai penulis, keberadaan bale-bale ini diperuntukan bagi para perempuan yang sedang tidak bisa sholat. Sembari menunggu keluarga yang beribadah, mereka bisa beristirahat dibale-bali karena wanita yang sedang menstruasi memang tidak dibolehkan memasuki masjid.

Bale-bale di salah satu masjid yang kami singgahi dalam perjalanan Medan-Banda Aceh. Photo by menixnews.com
Makan bareng dengan memanfaatkan bale-bale masjid sambil rehat sebelum melanjutkan perjalan ke Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Disambut Hangat Keluarga Aceh

Setelah menempuh kurang lebih 18 jam perjalanan, kami sampai di Banda Aceh sekitar pukul 02.00 WIB, Senin (24/12/2018). Kami langsung menuju ke rumah saudara yang berlokasi di Kampung Lampenerut Cotbue, Kecamatan Darul Imarah, Aceh besar. Kampung ini jaraknya sekitar 15 menit dari Kota Banda Aceh. Kampung ini juga dikenal sebagai salah satu pusat kuburan korban tsunami yang terjadi pada 24 Desember 2004 silam.

Namun, karena tak seorang pun dari kami yang pernah ke rumah saudara tersebut, kami pun memilih menunggu jemputan mereka di pinggir jalan di Kota Banda Aceh, seraya meregangkan otot panggul dan bokong yang sudah sangat kebas karena duduk terus.

Setelah sekitar 30 menit, dua kerabat kami pun sampai di tempat kami menunggu. Mereka menggunakan motor dan memandu kami menuju ke rumah yang diimpikan untuk beristirahat secara sempurna.

Alhamdulillah, rasanya bisa meluruskan pinggang di atas tempat yang datar dan tidur nyenyak sampai pagi. Keesokan paginya, pastinya perut merindukan sesuatu yang harus mengisinya.

Dan, suguhan sarapan pun telah siap sedia. Ah…. terimakasih yang tidak terhingga kami ucapkan untuk keluarga Bang Untung (dia adalah abang dari istri abang kami yang paling tua alias saudara ipar). Keramahtamahan mereka sungguh membuat rasa lelah hilang seketika.

Keakraban lesehan bersantap hidangan lezat di rumah Bang Untung. Photo by menixnews.com


Keakraban lesehan bersantap hidangan lezat di rumah Bang Untung. Photo by menixnews.com

Museum Tsunami

Setelah sarapan dan menyegarkan badan, kami pun beranjak mengunjungi dua objek wisata paling mainstream di Banda Aceh yakni Meseum Tsunami dan Masjid Baiturahman. Tidak lupa menghabiskan senja dengan memancing ikan dari jembatan yang ada di kota Banda Aceh.

Rasanya tidak ke Banda Aceh jika belum ke dua objek wisata ini. Tujuan pertama kami adalah Museum Tsunami yang terletak di Jalan Sukaramai, Baiturrahman, dan bersebelahan dengan taman kota.

Museum Tsunami. Photo by Fazlur Rahman.

Saat kami sampai, pengunjung museum sangat ramai. Museum ini buka dari pukul 09.00-16.00 WIB. Yang bikin saya terpana dengan museum ini adalah harga tiket masuknya yang luar biasa murah, yakni hanya Rp3.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak. Rasanya sangat jarang saya menemukan objek wisata dengan harga tiket yang sangat terjangkau.

Di dalam museum ini, tentu saja banyak hal yang bisa dilihat. Yang pasti tentang tragedi tsunami yang menerjang Aceh pada 24 Desember 2004 silam. Ada rasa duka yang begitu mendalam saat menyimak satu per satu foto, video, dan dekorasi yang menggambarkan bagaimana kejadian itu berlangsung.

Salah satu spot foto Meseum Tsunami Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Museum ini didesain dengan sangat apik dan modern yang bikin para pengunjung betah di sini. Tatanannya pun sangat bervariasi dan tidak membosankan. Dimulai dari penampilan video, foto-foto, sampai aktivitas yang melibatkan langsung para pengunjung.

Travel wish dari Azka yang ditempelkan di ruang aktivitas anak di Museum Tsunami, Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Kapal Apung

Namanya adalah kapal Apung. Ini merupakan salah satu bagian dari tragedi tsunami dan kini sudah menjadi sebuah museum. Letaknnya tidak begitu jauh dari Museum Tsunami yang kami kunjungi pertama.

Kapal Apung di Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Kapal ini adalah kapal PLTD yang terbawa sapuan gelombang tsunami dari pelabuhan hingga ke tengah kota. Ternyata kapal apung ini dibuat di Batam dan keterangan itu tertara jelas di bagian depan kapal.

Kapal Apung di Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Masjid Baitul Rahman

Kalau masjid yang satu ini, rasanya tidak perlulah saya ceritakan panjang lebar. Sebab sudah sangat tersohor dan siapapun yang ke Banda Aceh, wajib menginjakkan kaki ke sini. Bagi yang muslim, wajib sholat di sini ya!

Masjidnya memang luas dan desain interiornya sudah sangat modern. Ada ruang bawah tanah untuk berwudhu. Lorong-lorongnya luas, sehingga nyaman dijadikan tempat beristirahat. Di sana juga tersedia fasilitas eskalator bagi yang tidak kuat menaiki tangga.

Sementara di tempat sholatnya, adem dan nyaman. Pelatarannya juga apik dengan desain tenda ala Timur Tengah. Ini adalah masjid yang sangat legendaris serta tetap berdiri tegak saat tsunami meluluh-lantakkan kota Banda Aceh.

Image result for masjid baiturrahman saat tsunami
Kondisi Masjid Baitul Rahman saat tsunami menghantam.

Saat ini, masjid ini sudah direnovasi, tanpa meninggalkan ciri asli dan khasnya. Kolam di depan masjid tetap menjadi dekorasi eksternal masjid. Kami pun tidak ingin ketinggalan mengabadikan momen bersama masjid ini.

BTW, foto di masjid ini memang sangat menakjubkan. Tetapi, jika fotonya siang bolong dan matahari terik, kudu siap-siap kaki kepanasaan saat menginjakkan lantai marmarnya. Seperti kami yang cengar-cengir kepanasan ini!

Di depan Masjid Baitul Rahman, Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Cengar-cengir kepanasan berpose di depan Masjid Baitul Rahman, Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Mancing di Jembatan Jalan Raya

Senja di Banda Aceh, kami habiskan untuk mancing dari atas jembatan. Adalah abang-abang saya yang memang mancing mania. Kalau saya dan crucils hanya sebagai tim hora-hora.

Hora-hora memancing di jembatan jalan raya di Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Ternyata mancing di atas jembatan ini asyik juga. Matahari terbenam bisa dinikmati dengan santai seraya menghitung satu per satu kapal nelayan yang lewat di bawah jembatan.

Bentuk kapal nelayan di sini ternyata berbeda dengan yang ada di Batam dan Kepulauan Riau. Ujung belakang kapal tidaklah lancip melainkan tumpul seperti kotak.

Kapal nelayan di Banda Aceh. Photo by menixnews.com
Senja di Banda Aceh. Photo by menixnews.com

Bertemu Kawan Seperjuangan

Satu momen yang bikin perjalanan ke Tanah Rencong ini semakin membahagiakan adalah saat bertemu teman seperjuangan. Ia adalah Bu Sam. Kami memanggilnya Omcan (Oma Cantik) karena sudah berusia setengah abad lebih dan bercucu, tetapi tetap energik dan stylish.

Kami adalah teman seperjuangan, sesama penulis anak yang dipertemukan dalam acara workshop penulis anak oleh Kemendikbud di Bekasi pada 2017 silam. Sampai sekarang tetap berkomunikasi dengan baik dan saling dukung demi literasi anak bangsa.

This image has an empty alt attribute; its file name is jalan-jalan-ke-aceh-169.jpg

Omcan (dua dari kanan) dan my big family. Photo by menixnews.com

Nah, saya janjian ketemu beliau di kotanya yakni Lhokseumawe, tepatnya di sebuah kedai kopi di pinggir jalan. Ya di tempat itulah yang paling ideal kami berjumpa karena tidak perlu butuh waktu lama untuk menemukan tempatnya.

Dia pun membawakan kami cemilan enyak khas Aceh ditambah sauvenir syantik berupa gantungan kunci dan bros jilbab. Ah… terimakasih banyak Omcan… Kangen deh!

Cemilan khas Aceh dari Omcan. Photo by menixnews.com

Kami bercanda gurau di sana sembari menikmati kopi khas Aceh yang dibuat dengan cara khusus, yakni disaring dengan teknik menjulang. Bagaimana teknik itu? Lihat fotonya di bawah ini ya!

Saya namai ini kopi menjulang karena bikinnya harus menjulangkan tangan. Photo by menixnews.com.

Tips Jalan Darat Medan-Aceh

  1. Siapkan mobil yang prima. Akan lebih baik jika yang irit bahan bakar seperti Panther. Untuk bahan bakar, kami menghabiskan Rp600.000 PP.
  2. Jangan lupa cek ban serep dan perlengkapan montir untuk mengantisipasi jika ada masalah mogok di tengah perjalanan.
  3. Akan lebih baik jika berpergian lebih dari satu mobil, jadi bisa saling menjaga.
  4. Siapkan makanan dan minuman yang cukup selama perjalanan karena di duduk di dalam mobil sangat membosankan. Gak ada yang bisa dilakukan selain ngemil, tidur, dan ngobrol, serta main HP.
  5. Siapkan baterai HP cadangan dan power bank. Jika mobil ada charger port sih, akan lebih yahud.
  6. Istirahat di waktu sholat dan makan. Jangan dipaksakan menyetir jika sudah lelah. Gak usah buru-buru karena waktu bisa menunggu, tetapi jika sudah celaka, maka waktu jadi sia-sia.
  7. Selamat ber-touring ria dengan gembira ya!

SALAM TRAVELING KELUARGA INDONESIA!

Untuk cerita jalan-jalan hemat ke Pulau W (Sabang) dan Kilometer Nol, baca di sini ya!

18 comments

  1. Touring 18 jam kalau di Jawa itu seperti jarak Kediri- Jakarta dengan menggunakan kereta mbak. Sungguh terpukau dengan keindahan langit Aceh di sore hari, Tebing Tinggi dan Aceh itu salah dua dari sekian banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Gara- garanya sempat baca tulisan teman yang eksplor daerah itu.

    Senangnya bisa berkumpul dengan keluarga jauh ya mbak. Semoga selalu dikasih kesehatan biar bisa kumpul- kumpul kembali.

  2. Wah, seru banget perjalanannya kak. Aku penasaran sama Museum Tsunami dan Kapal Apung. Satu history yang tidak terlupakan

  3. 600rb pp medan-aceh? Murah kali.. utk 1 mobil itu mbak? Pasti seru sekali tuh di perjalanan sama keluarga..

  4. Pengen lho sebenernya saya jalan-jalan gini. Nunggu anak-anak agak gedean kali ya. Lagian istri kayanya mudah mual kalau jalan lama hihihi.

  5. Baca ini aku jadi pingin ke Aceh. Katanya mie aceh disana enak bangeet

  6. Kondisi mobil yang prima, emang dibutuhkan banget ya mba saat touring. Kayaknya asyik juga touring bareng keluarga. pengen nyoba ah.

  7. asyik ya travelling lewat jalan darat
    tapi dengan kondisi fisik sekuat dulu sy ga sanggup deh naik kendaraan lama

    penasaran mmg dgn Aceh…semoga bisa suatu saat ke sana.
    moga tiket pesawat segera turun dan normal spt dulu

  8. Seru banget pengalaman perjalanan ke Acehnya ya kak. Bertemu keluarga lalu menjelajah tempat2 wisata. Kutertarik ke museum Tsunami ini.

  9. Leni Marliza

    Aceh. Hmmm. Kota yang belum sempat di datangi. Penasaran akan keindahan kota Aceh dan keistimewaan nya

Leave a Reply to ruziana Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.