Home / Inspirations / Kehamilan dengan Kontraksi Prematur
English English Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia
Hasil USG ketika dirawat inap karena kontraksi prematur.

Kehamilan dengan Kontraksi Prematur

KATA orang, setiap kehamilan itu memiliki keistimewaan masing-masing. Setiap jabang bayi, pembawaannya berbeda-beda. Rasanya hal ini benar adanya dan itu saya alami pada kehamilan anak ketiga saat ini.

Hasil USG ketika dirawat inap karena kontraksi prematur.

Entah karena usia saya yang hampir berkepala empat atau karena faktor lain, saya merasa kehamilan ketiga ini memang paling berat ketimbang yang pertama dan kedua. Saat hamil pertama dan kedua yang keduanya adalah anak cewek, bawaan badan rasanya sehat selalu. Kehamilannya pun bisa dikatakan tidak mempengaruhi aktivitas baik sebagai ibu rumah tangga, maupun sebagai pekerja swasta full time.

Walaupun kehamilan pertama dan kedua tetap mengalami morning sickness pada tri semester pertama, namun efek ke tubuh dan aktivitas sehari-hari itu sangat kecil. Setelah muntah-muntah setiap habis makan, saya merasa tetap sehat dan mengulang makan kembali dengan porsi yang lumayan banyak. Bahkan, saya tetap bisa bekerja sampai hari melahirkan.

Namun tidak pada kehamilan ketiga ini. Morning sickness yang saya rasakan sangat parah, terutama  ketika kandungan memasuki bulan kedua dan ketiga.

Jujur saja, kehamilan ketiga ini memang tidak kami rencanakan. Selama ini, saya dan suami sepakat untuk memiliki dua anak saja, tidak perduli anak cewek maupun anak cowok. Dan Alhamdulillah, kami sudah dikarunia dua putri. Sulung saya, Azka, sudah berusia hampir sembilan tahun dan duduk di kelas tiga SD, sementara the youngest lady, Kenzie, sudah enam tahun lebih, dan duduk di bangku TK B.

Selama ini juga, saya dan suami bersepakat untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk wanita baik yang sifatnya hormonal maupun non-hormonal. Tujuannya, agar saya lebih nyaman dan tidak mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun emosi karena pengaruh alat kontrasepsi.

Ini bukan berarti menyudutkan alat kontrasepsi ya. Pendapat kami, karena kontrasepsi untuk wanita terkadang dapat mempengaruhi kondisi fisik dan emosi, alhasil selama lebih kurang 10 tahun berumah tangga, kami memilih KB-Mandiri (pasangan suami-istri atau yang sudah dewasa pasti paham ya). Hehehe orang bilang ini KB “pandai-pandai sajalah”.

Meskipun kami berniat hanya punya dua anak, namun ketika diberikan kepercayaan dan amanah oleh Allah SWT untuk mengasuh satu lagi momongan, rasanya sangat bahagia. Apalagi, sudah satu tahun ini, the youngest lady, hampir setiap hari meminta,”Mama….nanti kalau Kenzie SD, punya adik kan?”.

Rezeki kehamilan ketiga ini, mungkin juga karena si Kenzie yang sangat menginginkan adik. Dan juga, setahun ini dalam hati saya selalu berujar,”Enak juga kali ya kalau punya anak cowok. Nanti bisa jadi imam pengganti sang Papa kalau sedang tidak ada di rumah.”

My little family.

Eh ternyata, pada Ramadan 2019 lalu, keinginan Kezie memiliki adik terkabul. Di Ramadan lalu, saya sempat kaget karena sudah hampir selesai bulan puasa, saya tidak juga mendapatkan menstruasi. Saat saya sampaikan ke suami, dia menjawab,”Alhamdulillah…..semoga bayi laki-laki. Tapi cek aja dulu untuk memastikan. Kan Ajeng (panggilan sayangnya ke saya) menstruasinya tidak tepat waktu. Siapa tahu karena kecapean jadi telat datang bulan.”

“Iya juga ya. Mungkin saja cuma telat datang bulan,”jawab saya.

Meskipun sudah diminta suami cek gunakan test pack, namun saya enggan melakukannya. Saya cuek saja dengan mentruasi yang tidak datang-datang.

Aktivitas saya tetap sama, yakni sibuk mengurus anak dan suami serta mengajar baik di kampus maupun anak-anak les di rumah. Hingga jelang hari Lebaran tiba dan kami pulang kampung dari Batam ke Medan.

Selama Lebaran di Medan, tanda-tanda kehamilan itu mulai terasa. Badan sering tidak fit dan sesekali mual mendera. Saya pun meminta suami untuk menemani USG ke dokter kandungan yang ada di kampung. Hasilnya, Alhamdulillah memang ada janin yang masih berusia 6,7 minggu di rahim saya. Hasil pemeriksaan, letak dan kondisi janin bagus. “Semua normal,”kata dokter kandungan ketika itu.

Walau saya mengeluh mulai morning sickness ke dokter, namun wanita paruh baya itu tidak memberikan obat mual atau vitamin. Dia menyarankan saya untuk banyak konsumsi makanan alami yang banyak mengandung asam folat seperti sayur bayam, bubur kacang hijau, dan alpukat.

“Sementara untuk mual, hal itu biasa. Kalau masih bisa ditahan, tidak perlu konsumsi obat mual. Dan andaikan memerlukan vitamin, beli saja vitamin sendiri untuk ibu hamil ya,”begitu kata si dokter.

Saya dan suamipun tidak protes dan mengikuti semua sarannya.

Mual Parah Satu Bulan Lebih

Bulan pertama sampai memasuki bulan kedua kehamilan, saya tidak merasakan gangguan morning sickness yang berarti. Namun, begitu memasuki pertengahan bulan kedua, rasanya tidak karuan. Ketika sudah kembali ke Batam pasca Lebaran, saya tepar dan hanya menghabiskan waktu berbaring di atas kasur.

Syukurnya, ketika itu pekerjaan di kampus sudah selesai dan anak-anak les di rumah juga memasuki masa liburan panjang. Jadi, urusan yang harus saya selesaikan hanyalah rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, terutama masak untuk anak-anak suami. Sementara urusan berberes, cuci piring, dan cuci pakaian bisa dikerjakan sang suami.

Saya mengalami morning sickness yang sangat parah. Sepanjang pagi, siang, dan malam, perut saya mual. Bahkan, untuk mengonsumsi air putih pun sangat sulit. Apapun yang masuk ke lambung akan keluar lagi, termasuk air putih.

Karena mual yang sangat parah, ditemani suami dan anak-anak, saya menemui dokter. Kali ini bukan dokter kandungan melainkan dokter umum karena saya berobat menggunakan BPJS Kesehatan. Sayangkan sudah bayar BPJS setiap bulan tapi tidak digunakan. Hehehehe. Dan, sebagai informasi, jika ibu hamil berobat menggunakan BPJS Kesehatan, yang free hanyalah ke dokter umum dan bidan. Sementara untuk ke dokter kandungan harus bayar sendiri lagi.

Oleh dokter umum yang saya temui, saya diberikan obat anti-mual dosis rendah (memang harus dosis rendah karena Bumil tidak dibolehkan konsumsi obat berdosis tinggi) dan vitamin. Namun bukan vitamin khusus ibu hamil yang diberikan, melainkan vitamin umum yang merek dagangnya sangat mudah dijumpai di warung ataupun supermarket. Iklannya juga banyak di media, baik TV, koran, maupun media online.

Obat mual yang diberikan dokter umum tersebut, lumayan ampuh. Saya tidak rutin meminumnya. Obat anti-mual biasanya saya minum pagi hari sebelum sarapan. Dan, Alhamdulillah obat tersebut bisa menahan rasa mual sekitar tiga-lima jam. Lumayanlah lambung saya bisa memproses makanan dan minuman tanpa muntah dan calon bayi saya juga kebagian sari makanannya.

Hasil gambar untuk morning sickness

Setelah tiga-lima jam, mual parah kembali saya alami. Dan, hal itu berlangsung selama lebih dari sebulan. Bahkan, saking parahnya, pernah saya sedang di atas motor menuju kantor BPJS Kesehatan untuk mengurus perpindahan Faskes (Fasilitas Kesehatan) tingkat pertama, sepanjang jalan saya muntah. Untungnya ketika itu saya dibonceng keponakan. Mual parah yang saya rasakan terjadi ketika melewati persimpangan lampu merah. Mungkin karena asap kendaraan yang bau menyengat di hidung saya, makanya saya tidak bisa menahan muntah.

Karena tepat di persimpangan lampu merah dan kondisi lampu ketika itu sedang kuning ke hijau, kami tidak bisa menepi. Alhasil, dari atas motor saya muntah-muntah. Setelah melewati persimpangan tersebut, saya pun meminta ponakan saya menepi agar saya bisa lebih tenang untuk mengeluarkan isi perut.

Mual parah ini saya alami selama kurang lebih hampir dua bulan. Selama itu pula, saya jarang keluar rumah terkecuali ada keperluan yang sangat mendesak dan tidak bisa diwakilkan. Sampai-sampai para tetangga pun kecarian saya, karena lama tidak tampak. Akibat morning sickness yang parah itu, saya kehilangan berat badan sekitar tujuh kg. Jika sebelum hamil berat badan saya stabil di angka 65 kg, pada tri semester pertama kehamilan, berat badan turun menjadi 57 kg.

Saat keluar rumah dan bertemu tetangga pun, beberapa di antara mereka sangat kaget melihat saya kurus dan cekung. Banyak yang mengira saya terkena penyakit tertentu. Baju dan celana yang sudah lama tersimpan di lemari karena sudah tidak muat lagi, saat itu bisa saya kenakan lagi.

Pada tri semester pertama ini, tidak ada ngidam makanan yang begitu saya inginkan. Paling-paling sekali pengin dibelikan putu bambu, pizza, dan empek-empek panggang. Saat masa ngidam, saya sangat anti dengan bau-bauan, baik bau wangi maupun bau busuk.

Saya sangat sensitif dengan bau sabun, sampo, apalagi parfum. Seisi rumah, terpaksa mengikuti selera bau yang saya inginkan. Sabun mandi terpaksa diganti dengan sabun mandi batangan (bukan sabun cair) yang baunya tidak menyengat. Begitu juga dengan sampo. Sementara untuk parfum, suami kudu pakai parfum di luar rumah.

Karena tidak tahan dengan bau wangi ini, sempat membuat saya enggan mandi sering-sering, apalagi cuci rambut. Alhasil saya hanya mandi sekali sehari dan ntah barapa hari sekali saya mencuci rambut. Entahlah, bukan malas sih ya, tapi saya memang tidak tahan dengan bau yang ada.

Yang saya inginkan ketika itu, dunia ini akan lebih baik jika tidak ada bau apapun. Untuk menghindari bau-bauan itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar yang saya nilai tidak memiliki bau apapun dan tidak membuat saya mual.

Kontraksi Prematur

Memasuki tri semester kedua, kondisi saya mulai membaik. Morning sickness yang parah yang saya rasakan mulai mereda. Saya pun mulai bisa minum air putih sedikit-sedikit dan makan nasi serta lauk pauk, walau serba sedikit.

Karena badan sudah mulai fit kembali, aktivitas saya pun mulai kembali normal. Tidak hanya urusan domestik rumah tangga, tetapi juga pekerjaan di kampus dan mengajar anak-anak les di rumah mulai saya lakoni lagi.

Setiap pagi saya menyiapkan sarapan, mencuci piring, memasak, dan membersihkan rumah. Siangnya lanjut mengajar anak-anak les di rumah yang kebetulan tempat belajarnya ada di lantai dua rumah kami.

Aktivitas belajar anak-anak les di rumah saya.

Di sela jadwal mengajar les, saya juga harus menjemput dua princess kami dari sekolah yakni pukul 10.15 dan 15.30. Malam harinya, saya lanjut mengajar di kampus. Semua gerak saya di luar rumah saya lakukan dengan mengendarai motor. Maklum, saya seorang wanita yang tidak punya nyali untuk menyetir, jadi saya lebih memilih naik motor ketimbang bawa mobil sendiri.

Selain itu, saya juga tetap aktif menghadiri undangan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis serta aktivitas blogger untuk mengisi konten blog saya www.menixnews.com.

Rutinitas ini saya jalani tanpa hambatan. Sampai pada tanggal 25 Oktober 2019. Ketika itu hari Jumat. Selepas saya berberes rumah dan menjemput the youngest lady dari sekolahnya, saya merasakan tubuh saya sangat lelah. Saya pun berbaring dan tertidur di atas sofa beberapa menit.

Namun saat terbangun, saya merasakan ada yang tidak beres dengan perut saya. Badan saya tidak dapat digerakkan, terutama pada bagian perut ke bawah. Untuk menekuk kaki pun rasanya sakit. Rasa nyeri sangat terasa di bagian perut bawah dan pangkal paha.

Alhasil, saya menelepon suami untuk pulang dari kantornya dan membawa saya ke dokter. Sesampainya dia di rumah, dengan mengendari mobil dan ditemani my youngest lady, kami mendatangi klinik bersalin di dekat rumah dengan harapan ada dokter kandungan yang bertugas di sana.

Sesampainya di sana, ternyata yang ada hanyalah bidan.  Bidan pun memeriksa kondisi perut saya secara manual (metode raba) dan memeriksa detak jantung janin saya menggunakan alat pendeteksi detak jantung.

Sang bidan mengatakan, kondisi saya baik-baik saja dan janin juga dalam keadaan baik. Dia memberikan diagnosis, sakit yang saya alami karena kesalahan makan. Dia pun memberikan saya obat nyeri lambung serta vitamin.

Setelah pemeriksaan bidan tersebut, saya tidak merasa puas karena sakit yang saya rasakan sepertinya bukan karena lambung apalagi salah makan, tapi ada sesuatu lain yang terjadi. Saya meminta suami mengantarkan ke dokter kandungan langganan yang memang salah satu dokter terbaik serta tersohor di Batam. Lokasinya agak jauh dari rumah. Naik mobil sekitar 15 menit.

Sesampainya di klinik dokter tersebut, saya sudah sangat sulit berjalan. Perut bagian bawa rasanya sudah kejang dan pangkal paha sulit digerakkan. Dengan tertatih-tatih saya digandeng suami menuju meja pendaftaran. Begitu melihat saya tertatih, perawat dengan sigap mengambil kursi roda dan menyambut saya.

Saya pun langsung dibawa ke ruang tindakan. Ternyata tidak ada dokter yang kami tuju. Yang ada hanyalah bidan dan perawat. Setelah membaringkan saya di tempat tidur dan menanyakan keluhan, sang bidan langsung menelepon dokter dimaksud di depan saya dan suami.

Dari percakapan mereka, saya didiagnosis mengalami kontraksi prematur. Setelah mendengarkan instruksi dari dokter, sang bidan kemudian menyampaikan kepada saya bahwa saya harus dirawat inap agar dokter bisa menangani kontraksi prematur yang terjadi dan perawatan juga bertujuan untuk menenangkan rahim.

Saya dan suami hanya bisa perpandangan. Akhirnya kami sepakat mengikuti apa yang dikatakan sang bidan. Namun sebelumnya saya menanyakan,”Berapa lama saya dirawat?”

“Minimal dua hari ya Bu, karena kata dokter untuk kasus kontraksi prematur gini, dua hari minimal untuk pengobatannya,”jawab sang bidan.

Saya pun pasrah, yang penting saya kembali sehat dan janin saya selamat. Saya tidak menyangka bakal dirawat inap. Sejujurnya pun saya keberatan harus dirawat inap. Yang ada di pikiran saya adalah kalau saya dirawat inap, bagaimana dengan dua princess kami. Siapa yang akan mengurus mereka karena di rumah tidak ada asisten rumah tangga.

Syukurnya ketika itu hari Jumat dan esoknya, Sabtu-Minggu, yang berarti anak-anak libur sekolah dan suami libur kerja. Jadi weekend kali ini kami habiskan berempat di klinik dokter.

Setelah mendapatkan persetujuan saya dan suami, sang bidan dengan cekatan memasang infus di lengan kiri saya. Tak lama berselang, dia memberitahu bahwa ada obat yang harus diberikan secara oral melalui dubur agar cepat meredakan kontraksi prematur yang sedang terjadi.

Saya sendiri saat itu tidak tahu apa itu kontraksi prematur karena baru dengar. Dan, selama dua kali hamil sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti itu. Secara singkat sang bidan menjelaskan bahwa kontraksi prematur adalah kontraksi janin yang terjadi sebelum waktunya. Hal ini sangat berbahaya jika tidak cepat ditangani karena bisa terjadi kelahiran dini ataupun keguguran.

Setelah baca-baca beberapa sumber, kontraksi prematur bisa terjadi karena banyak faktor, diantaranya kecapean. Kontraksi ini terjadi sebelum bulan ke-35 atau sebelum masa kelahiran.

Selain diberikan infus dan oral, saya juga harus tes darah untuk mengetahui jumlah sel darah putih, apakah melebihi batas kewajaran atau tidak. Setelah pengambilan darah untuk cek labor, saya dipindahkan ke ruang perawatan.

Di sana, sang bidan melakukan tes selanjutnya. Kali ini adalah tes untuk anti-biotik sebelum dokter menentukan jenis anti-biotik yang bakal diberikan ke saya. Caranya, cairan anti-biotik dalam jumlah sedikit disuntikkan ke bawa kulit saya di lengan sebelah kanan.

Suntikan tes ini memang terasa sakit dan pedih. Setelah disuntik, beberapa menit kemudian terasa panas sebentar dan kulit menjadi agak melepuh. Kata sang bidan, jika nanti terasa gatal, berarti anti-biotik yang dicobakan tidak cocok dan harus coba anti-biotik jenis lain. Tes anti-biotik ini sudah pernah saya rasakan ketika akan melahirkan  anak pertama yang ketika itu akan sesar tapi tidak jadi.

Cerita pengalaman melahirkan anak pertama yang hampir cesar bisa dibaca di sini ya!

Rasanya “Amburadul” saat Dokter Mengatakan Saya Harus Cesar

Selang beberapa menit, tidak ada rasa gatal. Rasa panas yang sempat mendera kulit pun hilang. Kamudian, sang bidan meyakinkan bahwa anti-biotik yang dicobakan ke saya cocok. Tak lama kemudian, dia menyuntikkan anti-biotik jenis ke lengan kiri saya melalui jarum infus.

Rasanya agak sakit walaupun dilakukan sangat hari-hati dan perlahan. Saya mendapatkan suntikan anti-biotik sebanyak tiga kali sehari dan tidak diberikan obat-obatan lain, kecuali infus dan diminta istirahat total atau bed rest.

Saat malam hari, dokter kandungan baru memeriksa saya. Karena pasiennya memang banyak, saya mendapatkan giliran terakhir sekitar pukul 23.30, tengah malam. Saya maklum dengan dokter satu ini. Dari pagi hingga sore, dia bertugas di salah satu rumah sakit besar di Batam. Sore hingga malam, puluhan pasien sudah menunggunya di klinik praktiknya.  Jadi saya sudah biasa diperiksa dokter wanita berhijab ini tengah malam. Saat hamil dan melahirkan anak pertama dan kedua, juga ditangani oleh dokter kesayangan saya ini.

Saat bertemu sang dokter, USG dilakukan dan Alhamdulillah jabang bayinya adalah baby boy. Wah sesuai dengan keinginan saya, suami, dan dua princess. Sang dokter juga mengatakan, kondisi rahim serta janin sangat baik. Semuanya tampak lengkap dan normal.

Namun, begitu dia membaca hasil labor cek darah saya, menjadi agak khawatir karena jumlah sel darah putih atau leukosit saya jauh melebihi batas normal.

“Untuk wanita hamil, biasanya batas normal 12.000, namun sekarang jumlahnya 17.000. Jadi jauh melebihi batas normal. Saya minta waktu dua hari untuk merawat ibu ya,”kata sang dokter.

Hasil labor yang menunjukkan jumlah sel darah putih melebihi batas wajar.

“Apa efeknya dok dengan sel darah putih yang tinggi itu,”tanya saya.

“Ditakutkan mengganggu janin dan bisa lahir prematur. Ibu kurang istirahat ya dan kurang konsumsi air putih?” tanyanya.

“Hehehe, kalau istirahat cukup sih dok. Tapi mungkin kecapean aja,”jawab saya seraya tersenyum.

“Ya memang sangat sulit meminta ibu rumah tangga untuk istirahat di rumah ya. Makanya kalau sudah kejadian seperti ini, saya selalu meminta Bumil istirahat totalnya ya dirawat. Kalau tidak begitu, sulit penanganannya karena kalau sudah di rumah, ada aja yang dikerjakan Bumil kan,”ungkap sang dokter.

Ah si dokter memang paling tahu kondisi Bumil yang punya anak dan tidak punya asisten rumah tangga. Memang sangat sulit bed rest di rumah karena pasti ada aja yang dikerjakan Bumil.

Setelah pemeriksaan, dengan menggunakan kursi roda saya didorong suami untuk kembali ke kamar perawatan. Namun sebelum benar-benar keluar dari ruang dokter saya memastikan,”Dok, bisakah saya pulang ke rumah hari Minggu? Kan sudah dua hari kalau hari Minggu. Soalnya anak-anak Senin sekolah dan tidak ada yang mengurus mereka.”

Si dokter langsung tersenyum dan berujar,”Iya kita usahakan ya… Makanya harus bed rest benar-benar biar bisa pulang hari Minggu.”

Sampai kemar perawatan, saya mencari informasi penyebab dan bahaya naiknya sel darah putih pada ibu hamil via gawai saya. Setelah baca-baca, naiknya sel darah putih ternyata karena stres fisik alias kecapean. Stres fisik tersebut merangsang produksi sel darah putih untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

Setelah dua hari dirawat, pada Minggu pagi kondisi saya Alhamdulillah kembali pulih. Saya sudah bisa berjalan tanpa rasa sakit di perut bagian bawah dan pangkal paha. Gerak janin pun normal, tidak ada lagi kontraksi prematur.

Alhamdulillah, sore harinya saya diperbolehkan pulang. Sang dokter, melalui bidan membekali saya dengan anti-biotik generik serta obat penguat kandungan berukuran kecil. Walaupun tabletnya kecil,  harus dikonsumsi setengah tablet sehari. Sementara anti-biotik dikonsumsi tiga kali sehari. Untuk biaya berobat ini, tentu saja tidak ditanggung BPJS dan harus membayar pribadi.

Sebelum meninggalkan klinik, sang bidang kembali mengingatkan pesan dokter,”Ibu harus ingat ya banyak istirahat. Jangan terlalu capek. Kalau kerasa perutnya kejang atau nyeri, harus langsung baring dan istirahat ya. Ingat, dedek bayinya belum siap dilahirkan dalam waktu dekat karena baru 6.5 bulan.”

Pasca rawat inap tersebut, Alhamdulillah kondisi saya stabil dan sampai sekarang tidak ada keluhan. Sejak kejadian kontraksi prematur itu, saya sangat berhati-hati dalam beraktivitas. Pekerjaan rumah banyak dibantu oleh suami termasuk cuci piring, menyapu, berberes, dan mencuci pakaian. Urusan utama saya adalah memasak karena memang suami kurang bisa untuk masalah ini.

Sementara untuk mengajar, tetap saya lakukan. Hanya saja, setiap aktivitas harus dilakukan dengan perlahan, tidak buru-buru, dan harus super hati-hati. Begitu terasa lelah, saya langsung istirahat duduk maupun baring beberapa saat.

Terakhir, dua pekan lalu saya cek ke dokter lagi, Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Kondisi janin juga sehat dan posisi kepala sudah di bawah, sesuai dengan usianya yakni memasuki bulan ke delapan. InshaAllah, semoga bisa melahirkan secara normal pada Januari 2020 nanti.

“Ibu, jangan terlalu banyak gerak juga. Nanti kalau sudah masuk Januari 2020, boleh banyak gerak dan jalan-jalan agar mudah melahirkan normal. Pokoknya Januari, janin sudah aman dilahirkan ya,”pesan dokter.

Ah, senangnya mendengar semua normal dan sehat. Kini tinggal menunggu hari kelahiran putra pertama kami. Semoga semua berjalan lancer dan normal. Amin.

Terimakasih sudah membaca tulisan ini. Semoga sharing ini bermanfaat ya! (sri murni)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.