Home / My travelling / Melihat Detail Keindahan Tudung Manto Khas Daik Lingga
English English Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia
Proses pembuatan Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

Melihat Detail Keindahan Tudung Manto Khas Daik Lingga

Contoh Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

SELAIN Batik Gonggong dan tanjak yang sudah tersohor sebagai cinderamata khas Kepri dalam lingkup fashion, ada satu lagi yang tidak boleh dilupakan yakni TUDUNG MANTO. Ini merupakan kain penutup kepala atau kerudung alias tudung tradisional bagi perempuan di Kepri, khususnya warga Daik, Kabupaten Liggga. Tudung ini diyakini sebagai peninggalan Kejayaan Kerajaan Riau-Lingga yang pernah berpusat di Daik, mulai abad ke-17.

Saya sendiri berkesempatan melihat secara dekat dan detail tudung manto saat berkunjung ke Rumah Tekat Tudung Manto di Kampung Mantok, bersama tim #JelajahKonektivitasHati pada Desember 2018 lalu. Rumah tekat atau rumah tenun itu tidak begitu jauh dari pusat kota Daik, hanya sekitar 10 menit naik mobil.

Rumah yang terbuat dari kayu bercat coklat tersebut, merupakan sentral pembuatan tudung manto di Lingga dan sudah mulai dioperasikan sejak 2016 silam.

Rumah Tekat Tudung Manto di Kampung Mantok, Daik, Lingga. Foto by menixnews.

Saat kami menyambangi rumah tersebut, tampak beberapa ibu rumah tangga sedang asyik menghias tudung manto. Satu orang mengerjakan satu helai tudung yang terbuat dari kain sifon halus. Kainnya ada yang bewarna hitam, hijau, dan putih.

Kain tersebut berukuran 150×50 cm yang dibentang dengan sangat ketat di atas meja. Agar kain terbentang dengan sempurna, kain tersebut dieratkan ke pinggiran meja dengan cara dijahit jelujur. Kemudian, dengan sangat hati-hati dan teliti, masing-masing mengrajin mulai menggambar motif-motif cantik di atas kain.

Pilihan motifnya sangat beragam yang menggambarkan kekhasan motif melayu seperti awan larat, daun cengkeh, tali air, pucuk rebung, motu, itik pulang petang, tabur songket, tabur cengkeh, bunga karang, dan lainnya.

Penempatan setiap motif itu juga tidak sembarangan. Beberapa motif dikhususkan sebagai hiasan pinggir tudung, sebagian lagi menjadi motif utama di bagian dalam tudung, dan sebagian lagi adalah motif tabur yang disematkan hampir di semua bagian tudung.

Setelah motif selesai digambar, dengan perlahan, setiap motif tersebut diisi dan dihiasi dengan benang manik warna perak dan emas.  Benang tersebut, menurut Nurlina, seorang pengrajin di sana, merupakan benang dari India yang dibeli di Singapura.

Benang manik atau dikenal juga dengan istilah kelingkan ini memang tampak berbeda dari benang kebanyakan. Selain bentuknya yang besar dan tebal mirip kawat pipih, benang tersebut juga memiliki berat yang lumayan dan ukuran yang pendek-pendek, hanya sekitar 30 cm per helai.

Setelah motif-motif tersebut selesai dihias, pekerjaan selanjutnya adalah menggosok setiap centi benang manik menggunakan siput laut. Tujuannya adalah, untuk melunakkan benang manik agar menyatu dengan kain sifon dan agar tampak lebih berkilat.

Proses menggosok Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews.

Menghasilkan satu helai tudung manto ini, memang memerlukan kejelihan saat menyulamnya. Waktu yang dihabiskan pun cukup lama. Nurlina mengaku, setiap pengrajin memerlukan waktu sekitar satu bulan untuk menyelesaikan satu tudung.

Motif

Beragam motif yang disematkan dengan indah di atas tudung manto memiliki makna yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian Febby Febriyandi. Y.S. dari BPSNT Tanjungpinang, motif dan makna hiasan tudung manto di antaranya:

  1. Tali air atas dan bawah, yaitu motif berbentuk garis pada posisi paling luar yang dibuat di sekeliling kain bahan dan berfungsi sebagai pembatas motif. Tali air atas merupakan pembatas antara bunga kaki bawah dengan bunga tabur atau bunga pojok. Sementara itu, tali air bawah merupakan pembatas antara oyah dengan bunga kaki bawah.
  2. Bunga kaki bawah, yaitu motif hias yang dibuat antara tali air atas dan tali air bawah. Motif yang digunakan untuk bunga kaki bawah di antaranya awan larat dengan kelok paku, bunga pecah piring dengan kelok paku, itik pulang petang dengan bunga pecah piring, semut beriring, awan larat dan bunga tanjung, awan larat dengan pecah piring, kelok paku dan bunga kangkung, bunga cengkeh dengan kelok paku, wajik serta kelok paku dengan bunga kundur.
  3. Bunga tabur. Motif bunga tabur adalah motif bunga sekuntum (tunggal) yang bertaburan secara teratur pada bagian tengah kain, dan biasanya disusun menurut jarak tertentu yang disesuaikan dengan ukuran kain bahan tudung manto. Motif ini terdiri dari motif tampuk manggis, motif bunga teratai dengan kelok paku, motif bunga kundur, bunga kangkung, bunga melur, kuntum sekaki, bintang-bintang, bunga tanjung serta bunga cengkeh.
  4. Motif bunga pojok adalah motif bunga tertentu —biasanya lebih beragam—yang ditekatkan pada keempat sudut kain tudung manto. Motif ini terdiri dari motif kembang setaman, bunga melur, dan motif awan larat dengan buah setandan.
  5. Motif berbentuk bulat kecil seperti titik yang disebut mutu berfungsi untuk memadati hiasan.
  6. Motif hiasan pinggir yang terdiri dari tiga bentuk hiasan, yaitu oyah (jalinan benang emas dengan kelingkan yang berbentuk motif ombak), selari (motif ombak yang langsung dibuat menyatu dengan motif tali air bawah), dan jurai (terbuat dari manik-manik).
Proses pembuatan Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

Makna Motif

Setiap motif yang terdapat dalam sehelai kain tudung manto mengandung makna tertentu yang dipahami bersama oleh masyarakat Melayu Daik. Makna-makna yang ada merupakan konsepsi tentang sesuatu yang dianggap baik, bernilai, dan dicita-citakan oleh orang Melayu Daik.

Motif yang dipakai berbentuk tumbuhan dan hewan yang dipilih secara teliti untuk menjadi wahana
bagi konsepsi. Motif-motif tersebut tidak dengan sendirinya menjadi simbol bagi suatu konsepsi, melainkan konsepsi atau nilai itu yang sengaja dilekatkan pada motif-motif yang ada, sehingga
motif itu menjadi suatu simbol. Melekatkan motif dengan suatu konsepsi dilakukan dengan sangat
teliti. Motif-motif itu dipilih berdasarkan pada pengamatan terhadap kesesuaian antara nilai dan
konsepsi dengan kondisi alamiah motif.

Dengan demikian, motif hias tudung manto dapat dipisah dari konsepsi atau nilai yang dikandungnya, sesuai dengan perkembangan alam pikiran masyarakat Melayu yang memakainya.
Semua simbol dibuat dengan tujuan tertentu.

Contoh Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

Sistem simbol dalam kain tudung manto sebenarnya adalah sarana pengingat kepada norma dan nilai ideal budaya Melayu Daik. Dengan memakai tudung manto diharapkan si pemakai maupun orang Melayu lainnya yang melihat selalu teringat kepada norma dan nilai budaya mereka yang
tersimpan dalam motif tersebut.

Oleh sebab itu, mereka terdorong untuk tetap menjaga perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai yang diyakini bersama. Pentingnya nilai yang terkandung dalam setiap motif menjadikan tudung manto sebagai benda yang dimuliakan dan bahkan dianggap bertuah, sebagaimana ungkapan Melayu berbunyi “mulie kaian karne bermakne” (mulia kain karena mengandung makna).

Setiap simbol beserta makna yang terkandung di dalamnya menjadi standar penilaian bagi perilaku tertentu yang dianggap ideal dalam budaya Melayu Daik.

Beberapa makna motif tudung manto:

  1. Tali air, sebagai sebuah simbol, menuntut setiap orang Melayu Daik memiliki perasaan sebagai kesatuan kolektif manusia yang memiliki satu wilayah geografis, satu leluhur serta satu budaya.
  2. Tampuk manggis dan bunga melur menuntut setiap orang Melayu Daik untuk selalu berkata jujur.
  3. Bintang-bintang merupakan dasar bagi perilaku taat beribadah kepada Allah SWT.
  4. Pecah piring dan kuntum sekaki menuntut perilaku berbuat baik kepada saudara.
  5. Itik pulang petang menjadi dasar bagi perilaku tertib dan menjaga kerukunan.
  6. Bunga cengkeh, bunga tanjung, dan bunga kundur menuntut setiap orang Melayu menjaga harga diri dengan tidak berkata kotor, tidak bersikap sombong, tidak berkhianat serta tidak melanggar ketentuan adat Melayu.
  7. Bunga teratai merupakan tuntunan bagi seorang sultan agar memimpin dengan adil dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Bunga teratai juga menjadi dasar hukum bagi rakyat
    untuk menyanggah sultan apabila tidak berbuat adil.
  8. Kembang setaman, jurai, dan oyah menjadi dasar bagi orang Melayu Daik untuk giat berusaha
    dan mendapatkan kekayaan serta keagungan.
  9. Buah setandan menjadi tuntunan bagi orang Melayu Daik untuk memiliki anak keturunan yang
    banyak.
  10. Awan larat dan Kelok paku mengajarkan orang Melayu Daik untuk mencapai keagungan
    dan juga bersikap mengalah, serta rendah hati.
  11. Motif kelok paku dan awan larat merupakan motif yang dominan dan paling banyak dipadukan
    dengan motif lain. Dominannya motif ini bukan disebabkan oleh mudah dibuat atau dipadankan
    kedua motif tersebut, tetapi menunjukkan bahwa nilai kerendahan hati dan pencapaian kekayaan
    serta keagungan menjadi nilai terpenting bagi orang Melayu Daik.
Proses pembuatan Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

Tidak Bisa Sembarang Warna

Meskipun setiap orang bebas untuk memesan tudung manto, namun ada aturan warna yang kudu ditaati. Bahkan, para pengrajin di Rumah Tekat Tudung Manto ini tidak sembarangan bisa memberikan warna tudung manto kepada sembarang orang.

Menurut Nurlina, warna yang paling spesial dan tidak bisa sembarangan dibuat adalah kuning. Sebab, kuning merupakan warna kerajaan Melayu dan hanya boleh digunakan oleh keturunan raja. Sementara warna lainnya, dibolehkan untuk siapa saja memesannya.

Asal Muasal Nama Tudung Manto

Disarikan dari beberapa sumber, tudung mantu memiliki dua pengertian. Pertama, kata tudung yang berarti penutup kepala. Dalam bahasa Melayu, tudung dikenal juga dengan kata malayah. Kedua, kata manto. Sebagian sumber menyatakan bahwa kata manto berasal dari kata mantok yang berarti berasal dari Desa Mantok, tempat pembuatan tudung tersebut. Kemudian, lambat laun penyebutan mantok berubah menjadi manto.

Sementara sebagian sumber lainnya menyebutkan bahwa kata manto berasal dari kata mantu atau menantu (istri dari anak laki-laki). Kata mantu ini juga didasarkan dari fungsi tudung manto itu sendiri yang banyak digunakan sebagai bagian dari perlengkapan tudung wanita saat menjadi mempelai pengantin.

Kini, tudung manto mulai kembali dipopulerkan, tidak hanya sebagai perlengkapan pengantin dan acara kebudayaan, tetapi juga untuk kelengkapan fashion yang dipadupadankan dengan busana modern.

Contoh Tudung Manto Daik Lingga. Foto by menixnews

Harga

Karena pekerjaannya yang rumit serta bahan pembuat yang tidak murah, satu helai tudung manto dijual dengan kisaran Rp1,5 juta. Tinggi-rendahnya harga, memang sangat tergantung dengan kerumitan motif yang dibuat.

Kebanyakan tudung yang dihasilkan oleh Nurlina dan kawan-kawan merupakan pesanan para istri pejabat, tokoh-tokoh budaya, dan tentunya orang-orang yang beekonomi mapan.

Tertarik untuk melihat lebih dekat, atau bahkan ingin memiliki tudung manto? Bisa datang langsung ke Rumah Tekat di Daik Lingga.  (sri murni)

 

 

5 comments

  1. Selain datang ke Lingga, apakah bisa pesan secara online kak?

    Itu proses gosoknya pakai keong ya kak? Baru tau ini deh. Hehehe

    Sayangnya bukan keturunan kerajaan. Padahal warna kuning bagus lho kalau untuk kerudung seperti ini. Hehehe

  2. saya udah lama tahu tudung ini
    waktu pameran mtq dan stand lingga pamerkan.
    mmg kaget awalnya liat harganya.
    tp pas tahu rumit pembuatannya jadi paham

  3. kekayaan budaya indonesia itu heabt, ih acntiknya

  4. Wah effort bikins atu helainya lama jga, nih. Ya wajar kalau ahrganya juga sampai 1,5 juta gitu ya, Mbak. Kalau pake ini jadi berasa glamor dan kayak jadi keluarga ningrat hehehe

Leave a Reply to Hastira Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.