Home / Inspirations / Pengalaman Melahirkan Anak Ke-3: Satu Jam yang Tak Terlupakan
English English Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia
Baby boy, Fathansyah, saat baru lahir.

Pengalaman Melahirkan Anak Ke-3: Satu Jam yang Tak Terlupakan

SETIAP anak yang lahir dari rahim ibunya, selalu memberikan kesan berbeda. Dan, tentu saja membawa cerita serta pengalaman yang berbeda-beda pula bagi sang ibu.

Meskipun ketiga anak saya lahir secara normal, namun masing-masing mereka memberikan pengalaman yang berbeda-beda dan tidak akan pernah terlupakan. Si sulung, Dhabita, misalnya, menjadi buah hati yang paling lama proses lahirannya bahkan sempat akan dioperasi sesar karena kepalanya sedikit menyangkut di jalan lahir.

Cerita lengkap saya ketakutan sesar bisa dibaca di sini:https://menixnews.com/melahirkan-normal-atau-sesar/ 

Sementara putri kedua kami, Kenzie, prosesnya terbilang cepat hanya sekitar 2 jam dan Alhamdulillah sangat lancar. Tips untuk melahirkan normal dengan lancar juga sudah saya ceritakan di sini: https://menixnews.com/agar-lancar-melahirkan-normal-bumil-dianjurkan-renang-jelang-hpl/ 

Nah, anak yang ketiga ini, Fathansyah, yang sekaligus menjadi putra pertama kami, proses lahirannya lebih cepat dari kakak-kakaknya. Kurang lebih hanya satu jam. Namun, masa tunggu lahirnya yang sangat lama karena hampir 40 minggu dan lewat 11 hari dari HPL (hari perkiraan lahir) yang diprediksi dokter. Padahal kedua kakaknya dulu lahir tepat pada HPL dan bahkan si Kenzie lahir sepekan sebelum HPL.

Trio crucils yang bikin rumah selalu ramai dan ada aja tingkah mereka yang bikin ngakak.

Menunggu lahiran, apalagi sudah lewat dari HPL memang membuat was-was. Terlebih, pada kehamilan ketiga ini, saya sempat dirawat di klinik dokter kandungan langganan, Batam Medical Centre (BMC), karena adanya kontraksi prematur.

Apa itu kontraksi prematur dan bagaimana ciri-ciri serta penanganannya, baca di sini ya: https://menixnews.com/kehamilan-dengan-kontraksi-prematur/ 

Was-Was HPL Lewat

Saat usia kandungan saya 6 bulan, dokter memprediksi HPL saya adalah 12 Januari 2020. Rasanya sangat senang, karena 12 Januari adalah bertepatan dengan hari kelahiran saya. Saat itu dokter mengatakan, jika saya melahirkan di Januari, tanggal berapapun kondisi bayi sudah kuat karena sudah cukup umur. Bahkan, saya berharap bisa melahirkan lebih cepat karena tidak sabar ingin bertemu baby boy.

Agar cepat melahirkan dan bisa lancar, mulai akhir Desember saya berenang secara rutin di salah satu hotel yang tidak jauh dari rumah. Rutinitas ini saya lakukan hampir setiap malam, selepas suami pulang kerja.

Namun, si baby boy sangat betah di dalam perut. Pada tanggal HPL yang diprediksi dokter, tidak ada tanda-tanda akan melahirkan. Yang ada hanyalah pegal-pegal sekujur tubuh dan gerak bayi yang semakin aktif.

Setiap hari, kami selalu berdoa agar baby boy cepat keluar secara normal. Si Kenzie, yang memang sangat-sangat ingin punya adik, setiap saat selalu berkata,”Cepatlah lahir dek…. Kakak udah siapkan mainan adek loh. Baju-baju adek udah dicuci semua. Cepatlah lahir dek,”seraya menciumi perut buncit mamanya.

Kakak Kenzie yang selalu ingin dekat baby boy.

Saya dan suami juga sangat was-was. Apalagi saya, yang sangat takut dengan meja operasi, senantiasa berdoa agar bisa melahirkan normal. Selain setiap malam berenang, jalan jongkok di dalam rumah, saya lakukan dengan rute dari pintu depan ke dapur, bolak-balik. Setiap Sabtu dan Minggu, ditemani suami, jalan kaki tanpa alas keliling komplek.Saya sengaja ambil rute mendaki.

Para tetangga juga ikut was-was. Setiap kali bertemu selalu berkata,”Loh belum melahirkan ya? Semoga cepat lahiran dan lancar ya.” Ada juga yang berkata kalau bayi laki-laki memang lebih betah di dalam kandungan.

Satu hal yang saat itu  membuat saya sangat khawatir lewat HPL adalah berat bayi yang semakin bertambah sehingga nantinya bisa mempersulit melahirkan normal. Apalagi usia saya sudah 39 tahun, tidak mudah lagi untuk melahirkan dan termasuk dalam usia rawan.

Tapi syukurnya, setiap kali periksa ke dokter, Dokter Aad, sapaan akrab dokter kandungan senior di Batam ini, selalu memberi semangat dan mengatakan, saya dan bayi baik-baik saja serta berpotensi melahirkan normal. Ketiga anak saya lahir dibantu Dokter Aad ini.

Satu hal yang perlu dijaga adalah makanan. Saya dianjurkan tidak mengonsumsi makanan yang berlemak serta mengurangi karbohidrat agar janin tidak terlalu besar. Yang harus banyak dikonsumsi adalah sayur, buah, dan ikan.

Hari Kelahiran

Setelah lama dinanti, pada Kamis, 23 Januari 2020, tepat setelah azan Isya, atau sekitar pukul 19.30 WIB, ketika kami bertiga (saya, Dhabita, dan Kenzie) sedang rebahan santai dan menonton TV di kamar, saya hendak ke kamar mandi buang air kecil sekaligus mengambil wudhu untuk sholat.

Begitu berdiri, saya merasakan ada yang meletus di dalam perut saya, kemudian terasa ada yang mengalir cukup banyak di bagian bawah. Saya kaget dan saya langsung ke kamar mandi untuk memeriksa. Ternyata yang keluar adalah cairan agak keruh disertai lendir warna agak merah. Jumlah carian yang keluar cukup banyak sampai membasahi daster yang saya kenakan.

Saya pikir itu adalah air ketuban yang sudah pecah. Belum ada rasa mulas dan kontraksi apapun ketika itu. Saya langsung memberi tahu Dhabita dan Kenzie bahwa adik mereka akan segera lahir, InshaAllah. Si Kenzie girangnya tidak terkatakan. Sementara Dhabita tetap cool, seperti biasa. Saya pun langsung menelepon suami yang masih berada di kantor agar secepatnya pulang karena harus segera ke klinik bersalin.

Cara Kakak Kenzie momong dan menghibur baby boy.

Saya pun bersiap-siap. Ganti baju dan memakai pembalut agar cairan ketuban tidak merembes. Perlengkapan bayi sudah saya siapkan jauh-jauh hari di dalam tas. Sambil menunggu suami, saya sempatkan untuk makan yang banyak agar bertenaga saat proses lahiran. Makan sebelum melahirkan itu sangatlah penting karena kita perlu energi super untuk mengejan.

Ketika itu perut belum terasa sakit sedikitpun, sehingga makan tetap enak dan lahap. Begitu makan malam selesai, kontraksi mulai terasa. Namun, belum ada rasa sakit yang berarti. Suami belum juga sampai rumah.

Alhasil, saya meminta tolong suami tetangga depan rumah untuk mengantarkan saya ke klinik dengan mengendarai mobil di rumah. Dhabita dan Kenzie tetap berada di rumah karena Dhabita harus belajar, esok harinya ada class test di sekolah.

Sampai di tengah jalan, eh kami berpapasan dengan suami saya yang sedang mengendarai motor. Mereka berdua pun bertukar posisi. Suami saya mengantarkan saya ke klinik, dan si tetangga membawa motor suami pulang.

Sesampainya di klinik, kontraksi makin terasa namun sakitnya masih ringan. Saya pun tidak mau dinaikkan ke kursi roda. Saya lebih memilih jalan kaki dan menaiki tangga ke ruang bersalin yang berada di lantai dua. Sesampainya di ruangan, saya langsung diperiksa bidan yang bertugas. Dia mengatakan sudah bukaan tiga.

Sang bidan sempat memberikan obat pencahar dari anus. Tidak lama berselang, saya merasakan harus ke kamar mandi untuk BAB (buang air besar). Setelah itu, saya diarahkan untuk istirahat di kamar rawat inap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Sang bidan meninggalkan saya untuk melaporkan kondisi saya ke dokter Aad yang sedang praktik di lantai dasar.

Ketika itu, perut sudah mulai kerasa mulas. Tapi saya masih bisa tertawa bercanda bareng suami. Saya meminta keponakan yang ada di rumah untuk mengantar Dhabita dan Kenzie ke klinik agar mereka bisa langsung melihat adiknya begitu lahir.

Tak lama berselang, duo crucils datang dan saya sudah merasakan sakit yang mulai menghebat. Melihat saya cengar-cengir kesakitan, Dhabita dan Kenzie, justru banyak bertanya apa yang saya rasakan. Mereka memegang tangan dan kepala saya. Ah, rasanya menyenangkan di saat-saat menanti kelahiran ditemani suami dan anak-anak.

Trio crucils yang bikin rumah selalu ramai.

Dengan rasa sakit yang semakin hebat itu, saya tidak ingin berbaring. Saya justru jalan pelan-pelan, mondar-mandir sambil berpegangan pinggiran tempat tidur di ruang perawatan. Sekitar pukul 11, bidan datang lagi untuk memeriksa saya. Dia mengatakan sudah bukaan lima. Tidak lama berselang, saya dibawa ke ruang tindakan. Kali ini, saya meminta untuk dinaikkan kursi roda karena sakit perut saya sudah menghebat.

Ditemani suami dan Kenzie yang katanya mau lihat adiknya lahir, saya dibimbing ke ruang tindakan. Tentu saja kami tidak ingin Kenzie menyaksikan proses lahiran. Apa jadinya budak sekecil itu lihat mamanya melahirkan? Yang ada adalah trauma untuknya.

Sambil terbata-bata karena menahan sakit, saya pun mengatakan,”Kenzie sayang, tunggu di kamar aja sama kakak ya. Biar papa aja yang temani mama. Nanti begitu adik lahir, langsung dibawa ke kamar ketemu Kakak Kenzie ya.” Dia pun menuruti kata-kata saya.

Tidak lama kemudian, dokter tercinta datang melihat kondisi saya. “Alhamdulillah sudah bukaan delapan ya Bu. Sekarang miring ke kanan lagi ya,”katanya.

“Wah, cepat ya sudah bukaan delapan. Alhamdulillah,”jawab saya.

Seiring bertambahnya bukaan, rasa sakit pun semakin “menggila”. Apalagi jika harus mengubah posisi dari telentang menjadi miring ke kanan, Astaqfirullah, aduh-aduh rasanya berat sekali……

Sekujur tubuh, dari kepala hingga kaki, rasanya sudah sakit semua. Dengan dibantu suami pelan-pelan, saya berhasil juga miring ke kanan.

Hanya bisa bertahan beberapa menit pada posisi miring ke kanan tersebut karena sakit di pinggang dan bagian perut bawah tidak tertahankan lagi.

Di luar kendali, ternyata suara zikir saya terdengar sangat keras. Dan tidak lama berselang, saya sudah memanggil-manggil dokter minta pertolongan.

“Dokter tolong dok…. tolong sakit sekali… tolong dok…”begitulah kata-kata yang menggema di ruang bersalin.

Saya pun membalikkan badan telentang karena posisi miring ke kanan membuat saya kesakitan. Padahal, rasa sakit yang hebat itulah yang memang harus dilalui karena menandakan bukaan akan semakin besar dan proses lahiran bisa semakin cepat.

Bidan pun segera datang dan menenangkan saya. “Tenang ya Bu… Tahan dulu ya Bu… Jangan mengejan ya Bu… Belum waktunya mengejan. Sebentar lagi ya. Sekarang ibu miring ke kanan lagi ya,”pintanya.

Miring ke kanan lagi? Aduh….aduh…. sakitnya.

Dibantu pelan-pelan oleh suami, saya berusaha miring ke kanan lagi. Namun, kali ini lebih singkat lagi saya bertahan miringnya. Rasanya sudah tidak tertahan. Lagi-lagi saya berteriak memanggil dokter. Mendengar teriakan saya, sang dokter tercinta pun datang dan memeriksa. Oh, ternyata sudah bukaan lengkap.

Dia pun meminta bidan dan dua suster untuk menyiapkan semuanya serta siap-siap membantu proses melahirkan. Penyangga kaki dipasang beserta semua perlengkapan yang dibutuhkan. Saya sempat melihat jam di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 11.35, hampir tengah malam.

“Dok, bimbing saya untuk mengejan dan kapan saya harus mengejan ya,”pinta saya ke dokter yang sudah siap sedia di posisinya.

Walau ini lahiran ketiga dan walau saya sudah banyak membaca teknik mengejan saat melahirkan normal, percayalah pengalaman dan ilmu yang saya baca ambyar begitu menghadapai kenyataan.

“Nah, sekarang kapan ibu pengen ngejan, ngejan aja ya Bu. Jangan ditahan-tahan. Mata jangan ditutup saat ngejan. Lihat ke perut saat ngejan ya Bu,”kata dokter.

Sementara bidan yang berada di sisi kiri saya, membantu meletakkan tangan saya di paha. Sedangkan suami yang ada di sisi kanan, membantu menopang punggung saya agar posisi setengah duduk dan menyiapkan air minum.

Proses mengejan pun dimulai karena rasa seperti ingin buang air besar sudah tidak tertahan lagi. Satu, dua, tiga, ngejan.

“Haus, tolong minum,”kata saya kepada suami. Saya pun menyedot air meneral dari gelas plastik dengan lahap.

“Ayo Bu ngejan lagi,”kata dokter. Satu, dua, tiga, ngejan…… Kembali saya merasa haus dan minta air ke suami.

Mungkin karena janin yang berukuran besar, melahirkan kali ini sungguh menguras tenaga. Dan, rasanya memang sangat besar saat hendak keluar dari jalan lahir. Saya merasa ada banyak cairan yang keluar dari bawah. Dan, kata bidan itu adalah air ketuban yang sudah pecah sepenuhnya.

Lalu, dokter meminta perawat untuk mengambilkan sebaskom air hangat guna membersihkan areal bawah tempat bersalin yang sudah basah dengan air ketuban.

Saat disiram, rasanya hangat. Satu baskom ternyata kurang. Saya mendengar dokter meminta satu baskom lagi.

Setelah itu, saya diminta mengejan lagi. Namun, tiba-tiba saya tidak merasakan sakit apa-apa. Rasanya hilang seketika. Sakit luar biasa yang sebelumnya saya rasakan, lenyap. Saya pun berkata ke dokter,”Dok, saya tidak merasa sakit apa-apa, bagaimana mau mengejan?”

“Tidak sakit sedikit pun ya Bu?”

“Tidak dok. Sama sekali tidak sakit.”

“Kita tunggu sebentar ya,”katanya lagi.

Ketika saya tidak merasakan apa-apa seperti itu, pikiran saya langsung kemana-mana. “Ya Allah… mudahkanlah hambahMu ini melahirkan. Janganlah hambah sampai dioperasi. Ya Allah… tolonglah hambah,”itulah doa yang kerap saya ucapkan karena memang pikiran saya langsung ke meja operasi.

Tidak lama berselang, dokter bertanya lagi,”Ada rasa sakit dan ingin buang air Bu.”

“Tidak ada Dok… Tidak ada rasa apapun,”jawab saya.

Kemudian, dokter meminta bidan menginjeksi di bagian paha saya. “Ibu ini saya beri rangsangan sedikit. Begitu ibu merasa ingin BAB, langsung mengejan ya,”pesan dokter.

Benar saja, hanya hitungan detik setelah diinjeksi, saya merasa mulas lagi dan ingin BAB. Saya pun mengejan sekuat tenaga. Satu kali tarikan nafas. Saat nafas tinggal sedikit, dokter berkata,”Bagus Bu, sedikit lagi.”

Wah sedikit lagi, rasanya nafas juga tinggal sedikit, dan sempat gak nih tarik satu kali lagi.

Dengan nafas yang tersisa, tanpa sempat menarik lagi, saya lanjutkan mengejan. Karena sudah tidak ada lagi yang hendak dihembuskan, saya pun menarik nafas lagi.

Begitu saya akan mengejan, bidan yang berada di samping kiri saya bilang,”Sudah Bu, sudah jangan mengejan lagi. Kepala bayi sudah keluar. Eh, itu sudah keluar semua.”

“Ya Allah… Alhamdulillah. Ya Allah Alhamdulillah… Alhamdulillah….Tidak sampai saya dioperasi,”begitu rasa syukur saya ucapkan berkali-kali.

“Lahirnya, Kamis, 23 Januari, pukul 11.57 malam ya Bu,”kata bidan.

“Lah, tiga menit lagi da tengah malam ya dan Jumat sudah tanggal 24 Januari,”balas saya.

Tak lama kemudian, suara bayi pun terdengar sangat nyaring. “Alhamdulillah ya Allah…. Alhamdulillah… Terimakasih dokter, terimakasih semuanya,”kata saya menyambut tangisan bayi.

“Salamat ya Bu, bayinya laki-laki dan lengkap, sehat. Suaranya keras,”kata dokter sambil tersenyum.

Si baby boy pun diletakkan di dada saya untuk inisiasi menyusui dini (IMD) dimana bayi baru lahir diletakkan di dada sang ibu agar mencari sendiri puting susunya, tanpa disodorkan. IMD ini yang sangat bermanfaat untuk keberlangsungan proses ASI.

Namun, IMD yang dilakukan sebentar saja karena bayi harus dibersihkan, dibedong agar hangat, dan diazankan oleh papanya.

Baby boy, Fathansyah, saat baru lahir.

Setelah urusan bayi selesai, yang tersisa adalah urusan sang mama bersama dokter. Dokter pun sibuk “mendandani” areal kewanitaan si mama. Maklum bayi yang barusan dilahirkan lumayan beratnya yakni 3.500 gram dengan panjang 53 cm.

Baby boy ini memang paling berat di antara tiga anak saya. Dhabita lahir dengan berat 2.800 gram dan panjang 50 cm. Kenzie lahir dengan berat 3.350 gram dan panjang 52 cm.

Sekitar 30 menit dokter mendandani areal kewanitaan, saya pun pelan-pelan dengan menggunakan kursi roda dibawa ke ruang perawatan untuk istirahat. Tak lama kemudian, baby boy diantarkan ke kamar untuk saya susui. Alhamdulillah, dengan semangat dia langsung menyusu dan ASI keluar lancar hingga sekarang.

Keesokan harinya, selepas Ashar, saya bersama baby boy sudah diperbolehkan pulang karena kondisi ibu dan anak sehat serta tidak ada gangguang apapun. Baby boy sudah buang air kecil dan besar. Sementara saya, sudah buang air kecil dengan lancar.

Bayi buang air kecil dan besar setelah lahir sangatlah penting karena itu menjadi salah satu indikator kondisinya normal. Sementara si ibu sudah bisa buang air kecil juga sangatlah penting sebagai salah satu indikator bahwa ibu dalam kondisi sehat pascamelahirkan.

Saya juga dibekali obat penghilang nyeri, anti-biotik, vitamin, bethadine, dan kapas.

Akikah

Sepekan setelah baby boy lahir, Alhamdulillah kami masih sempat menggelar syukuran akikah dan penambalan nama di rumah. Akikah adalah syariat Islam berupa syukuran dengan mengorbankan kambing sebagai bentuk rasa syukur umat Islam kepada Allah SWT setelah bayi dilahirkan. Untuk bayi laki-laki memotong dua ekor kambing dan untuk bayi perempuan, memotong seekor kambing.

Acara akikah Fathansyah sepekan setelah lahir.

Baby boy pun kami beri nama Fathansyah Putra Murni Riyadi. Fathansyah berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti kesuksesan yang berguna bagi banyak orang.

Di dunia ini banyak orang sukses. Namun, tidak sedikit kesuksesan itu ternyata tidak membawa manfaat bagi banyak orang. Dengan nama Fathansyah tersebut, tentu saja kami berdoa supaya baby boy bisa tumbuh sehat dan meraih kesuksesan dalam hidupnya dimana kesuksesan itu membawa berkah dan manfaat bagi masyarakat. SEHAT SELALU YA NAK! (sri murni)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.